Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu penulis mencoba mencari buku-kitab yang sekiranya bisa dijadikan referensi atau acuan dalam membahas persoalan fiqih difabel. Namun, hingga saat ini sepanjang pengetahuan yang sangat sempit penulis. Penulis belum menemukan buku yang membahas fiqih difabel. Sehingga itu penulis hanya mampu memaparkan persoalan fiqh difabel secara ringkas. Istilah ini pertama kali penulis kenal melalui mata kuliah ushul fiqih dimana saat itu dosen sempat menyinggung mengenai fiqih difabel. Akhirnya dengan keterbatasan referensi. Maka, untuk mengetahui tentang perkembangan wacana fiqih difabel, penulis mencoba mengamatinya lewat media online-offline.
Fiqih secara bahasa berarti pemahaman. Orang arab mengartikannya sebagai kecerdasan manusia atau kemampuan manusia dalam menjelaskan suatu hal yang rumit. Awalnya kata ini digunakan dalam islam dengan makna pengetahuan seseorang atas segala aspek-aspek yang terdapat dalam agama. Hingga kemudian maknanya menyempit menjadi penggalian hukum atas tingkah laku manusia baligh(mukallaf) yang belum atau secara rinci dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan kata Difabel secara umum dikenal dan diketahui berasal dari akronim bahasa inggris different abled people yang diperkenalkan pada tahun 1999 oleh aktivis gerakan kecacatan indonesia[1] yang berarti orang dengan berkemampuan berbeda. istilah ini muncul dengan alasan menjaga posisi penyandang cacat dari diskriminasi penggunaan istilah penderita cacat[2]. Namun secara luas makna kata difabel adalah perbedaan setiap orang dalam mencapai suatu tujuan. Misalkan antara seorang difabel-polio tentu untuk mencapai suatu tempat cenderung memakan waktu yang lebih lama daripada dengan seseorang yang non-folio. Contoh lainnya misalkan kekurangan penulis memahami bahasa jawa. Maka, dapat dikatakan bahwa penulis adalah difabel-bahasa jawa. Makna lainnya pun dapat disimpulkan bahwa difabel berarti perbedaan kemampuan seseorang dalam aspek fisik-non fisik terkait dengan pencapaian kepada tujuan.
Oleh karena itu jika dikaitkan dengan fiqih, maka fiqih difabel dapat diartikan sebagai penggalian hukum-hukum atas tingkah laku difabel. Dalam corak keagamaan islam umum boleh jadi permasalahan fiqih difabel telah sering dipergunakan oleh para ‘ulama. Namun yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana upaya bimbingan konseling islami kemudian memanfaatkan fiqih difabel sebagai sarana dan acuan dalam pemantapan teori-teori yang digunakan dalam konseling islami. Dalam paradigma integrasi-interkoneksi mahasiswa Bimbingan Konseling Islami(BKI) Fakultas Dakwah UIN SUKA diharapkan telah menguasai permasalahan fiqih difabel. Akan tetapi pada kenyataannya gagasan persoalan fiqih difabel belum banyak dibahas pada pertemuan mata kuliah fiqih. Beberapa dosen telah membuka jalan dengan mulai memperkenalkan persoalan fiqih difabel dalam bimbingan konseling islami. Namun hingga saat ini belum ditemukan titik klimaksnya. Kegunaannya jelas, yakni dengan kesatuan antara teori keislaman(fiqih) dengan teori empiris dan rasional maka hal ini akan sangat membantu kemudahan proses perkembangan konseling islami kedepan.
Selama ini konseling islami pada beberapa bagian masih terikat dengan penggunaan teori psikologi barat sedangkan psikologi islam masih membutuhkan perkembangan yang cukup panjang. Hal ini jelas menimbulkan persoalan, karena antara pemahaman psikologi barat dan islam berbeda. Psikologi barat menganggap manusialah yang menciptakan tuhan sedangkan dalam islam Allah-lah (term tuhan) yang menciptakan manusia bukan sebaliknya. Jika hal ini dilarutkan maka bisa saja kemudian akan membias pada penggunaan teori-teori dalam konseling islami khususnya pada kasus difabel.
Urgensi fiqih difabel sangat diperlukan terkait dengan penjawaban tantangan zaman dan islam dalam bimbingan konseling islami. Selama ini difabel dalam islam diposisikan sebagai golongan yang kurang mendapatkan perhatian. Terutama persoalan fiqih. Meskipun dalam sejarah dicatat Imam Tirmidzi adalah difabel(buta). Kurangnya perhatian terhadap fiqih difabel tentunya berdampak pada bagaimana nantinya dalam proses konseling islami, konselor memperlakukan difabel sesuai dengan anjuran islam. Persoalannya yang muncul adalah beberapa pelaku bimbingan tidak memiliki teori tentang bagaimana memperlakukan klien-difabel sesuai dengan anjuran islam. Beberapa pelaku bimbingan konseling[3] mengeluh kurang referensi atau petunjuk yang sekiranya bisa dijadikan acuan[4].
Islam dan Kesempurnaan Manusia
Dalam Al-Qur’an surat At-Tagabun: 3
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, dia membentuk rupamu,lalu memperbagus rupamu, dan kepada-NYA tempat kembali.
Jika kita memperhatikan kata wa showwarokum fa’ahsana shuwarakum kata ini diterjemahkan dengan arti Dan dia membentuk/menjadikan rupamu lalu memperindah rupamu. Kata ini secara tekstual memiliki makna bahwa Allah memperindah bentuk fisik manusia. Maka tentu hal ini memunculkan persoalan. Bagaimana dengan difabel?. Hal ini kemudian bisa kita alihkan pada ayat lainnya. At-Tin: 4-6
Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya.
Pada surat at-Tin 4-6 secara tekstual dapat kita tarik kesimpulan. Bahwa pada dasarnya manusia itu diciptakan dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi keadaan sebaik-baiknya itu akan menjadi sangat rendah ketika manusia sebagai makhluk yang sempurna kemudian keliru dalam persoalan iman dan perbuatan/amal positif. Dengan melihat ayat normatif seperti ini, penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya islam memandang semua posisi manusia itu sama. Meskipun secara ukuran kelengkapan fisik, difabel dianggap berbeda. Akan tetapi yang membedakannya adalah iman dan amal. Sampai sejauh ini posisi difabel dalam islam cukup jelas.
Bimbingan Konseling Islami dan Persoalan Difabel
Menurut hemat penulis difabel dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah difabel yang memang dialami sejak lahir. Dan yang kedua adalah Difabel yang dialami pasca-natal[5]. Berdasarkan pembagian ini dapat terlihat beberapa persoalan yang muncul terkait dengan perbedaan periode difabel. Jika difabel dialami sejak lahir maka sekiranya persoalan yang muncul biasanya adalah, Diskriminasi oleh lingkungan, perasaan kurang percaya diri dsb. Sementara jika difabel dialami setelah pasca-natal. Maka biasanya persoalan yang muncul adalah berupa perubahan aktivitas, pekerjaan, tanggung jawab pribadi berubah[6], perlakuan keluarga berubah, tata cara beribadah berubah, frustasi, depresi, dsb.
Salah satu prinsip yang digunakan dalam bimbingan konseling islami terkait dengan permasalahan individu adalah bahwa bimbingan konseling islami memiliki tugas untuk membantu individu terkait dengan penyesuaian diri terhadap lingkungan[7]. Oleh karena itu kemudian secara otomatis beberapa persoalan yang dihadapi difabel diatas merupakan tugas konselor islami untuk turut andil membantu memecahkan persoalan.
Saat ini ada beberapa hal yang bisa menjadi alternatif sementara bagi konselor islami dalam membantu atau memfasilitasi klien difabel dalam menemukan cara agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Beberapa cara tersebut antara lain melakukan pendekatan individual kemudian menyesuaikan pemberian pilihan-pilihan dalam memecahkan masalah dengan menyesuaikan berdasarkan kemampuan difabel.
Urgensi Fiqih Difabel
Urgensi fiqih difabel seperti yang disebutkan diatas adalah bahwa pada dasarnya fiqih difabel akan sekiranya dapat membantu proses bimbingan konseling islami. Contohnya seperti yang penulis sebutkan diatas bahwa beberapa pelaku bimbingan konseling islami mengeluhkan kurangnya referensi mengenai bagaimana perlakuan terhadap difabel. Pemberian perlakuan ini juga termasuk pada bagaimana memberikan materi, pengajuan alternatif pemecahan masalah, yang semuanya itu merupakan bagian didalam proses bimbingan dan konseling islami. Kasusnya terjadi ketika para pembimbing keagamaan pada pusat rehabilitasi Bina Grahita Temanggung, mengalami kesulitan dalam menjalankan proses bimbingan keagamaan terhadap difabel diakibatkan kurangnya referensi pelaksanaan bimbingan keagamaan[8]. Akhirnya bisa ditebak, para pembimbing keagamaan pada proses bimbingan keagamaan hanya berdasarkan pemahaman individu dari para pembimbing keagamaan tersebut. Sehingga pada prosesnya hal ini terlihat tidak sistimatis dan sulit diukur tingkat keberhasilannya.
Fiqih difabel sekiranya dapat menjadi tinjauan hukum mengenai suatu perilaku. Apalagi terkait dengan persoalan ibadah. Misalkan seorang difabel pasca-lahir mengalami kebuntuan tangan. Tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan sah tidaknya air wudhu?bukankah pada wudhu kita dituntut untuk membasahi tangan?. Atau bagaimana sahnya ijab-qabul dalam pernikahan difabel tuna rungu?. Tentu jika pertanyaan ini menjadi inti permasalahan difabel. Kemudian difabel mencari jawabannya pada konselor islami. Kira-kira apa yang bisa menjadi jawaban dari konselor islami?.
Sampai sejauh ini sulit bagi konselor islami dalam menimbang alternatif pemecahan masalah jika kemudian konselor islami tidak memiliki referensi terkait persoalan ini. Mungkin dengan memanfaatkan prinsip pengalihan tugas. Bisa saja hal ini teratasi. Akan tetapi lagi-lagi kitab-kitab fiqih yang membahas difabel belum terlalu dikenal atau bahkan jarang diketahui. Sehingga bisa jadi tidak semua ‘ulama paham persoalan fiqih difabel.
Penutup
Inti dari tulisan ini hanyalah memaparkan urgensi fiqih difabel dalam bimbingan konseling islami. Bimbingan konseling islami yang baru mulai berkembang tentu menuntut agar celah-celah yang dapat menghambat tujuan dari bimbingan dan konseling islami segera diatasi. Terutama oleh para pakar-ahli. Jurusan Bimbingan Konseling Islami(BKI) Fakultas dakwah UIN SUKA sekiranya harus secara intensif mulai memperkenalkan fiqih difabel kedalam mata kuliah fiqih, ushul fiqih. Sehingga sekiranya para alumni BKI fakultas dakwah memiliki kualitas yang memang lebih daripada Jurusan Bimbingan Konseling pada umumnya. Meski fiqih difabel minim. bagi penulis, pendirian Pusat Studi dan layanan Difabel yang diprakarsarai oleh Mantan rektor UIN SUKA Prof Dr. Amin Abdullah dan beberapa dosen lainnya setidaknya dapat menjadi pembantu pembuka jalan wacana-wacana ke-difabelan dalam konteks bimbingan dan konseling islami. Sekarang tinggal bagaimana seluruh elemen jurusan bimbingan konseling islami turut serta didalam pelaksanaannya.
Akhir kata, pembahasan dalam tulisan ini hanya sekedar pengantar. Karena pada dasarnya tulisan ini hanyalah untuk mengemukakan wacana semata. Kesimpulan dari isi tulisan ini penulis kembalikan kepada pembaca.saran dan kritik konstruktif sangat diperlukan.
Nashrun Minallah wa fathun qarib
Daftar Pustaka
Al-Qur’an, Depag, 2004
Abdul Choliq Dahlan, Bimbingan Konseling Islami, Yogyakarta, Pura Pustaka, 2009
Dati Fatimah, Bencana dan Kerelaan Perempuan Difabel, dalam ; Galang Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani, Vol 3. No 1. Feb 2008.
Skripsi, Ratna Kurniati, Studi Tentang Pelaksanaan Bimbingan Keagamaan Terhadap Penyandang Cacat Mental Di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung, UIN-SUKA, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2003
Skripsi, Nur Widayati, Tingkah Laku beragama penyandang cacat mental (studi pada siswa SLB Tunas Bhakti di yayasan dharma bhakti pleret bantul), UIN-SUKA, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbinga dan Penyuluhaan islam, 2005
Sunan Kalijaga News, edisi IV No. 18/November-Desember 2007. [1] Sunan Kalijaga News, edisi IV No. 18/November-Desember 2007.
[2] Dati Fatimah, Bencana dan Kerelaan Perempuan Difabel, dalam ; Galang Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani, Vol 3. No 1. Feb 2008.
[3] Istilah pelaku bimbingan konseling islami berasal dari istilah pelaku bimbingan keagamaan.
[4] Skripsi, Ratna Kurniati, Studi Tentang Pelaksanaan Bimbingan Keagamaan Terhadap Penyandang Cacat Mental Di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung, UIN-SUKA, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2003. Hal 73.
[5] Pembagian ini berasal pada saat penulis mengikuti matakuliah Aplikasi BKI
[6] Dati Fatimah, Loc, cit
[7] Abdul Choliq Dahlan, Bimbingan Konseling Islami, Yogyakarta, Pura Pustaka, 2009. Hal 48-47
[8] Lihat kesimpulan skripsi Ratna Kurniati yang digunakan sebagai referensi tulisan ini.