Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
“Mengapa dalam
Kelompok yang lebih besar cenderung menghasilkan kinerja yang kurang maksimal?”
“Maka dalam
organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah
penggembira.”
Pernahkah
bertanya, Mengapa seringkali saat
mendorong mobil secara berkelompok tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap
berkurangnya beban mobil?, dan
Mengapa beberapa orang malah seringkali tertangkap basah tidak
bersungguh-sungguh mendorong mobilnya?. Fenomena ini biasa disebut sebagai Social
Loafing. Social Loafing dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kemalasan Sosial, atau Penyandaran Sosial. Selain itu, Social Loafing sendiri lebih dikenal sebagai
fenomena hilangnya produktifitas (George, 1992, dalam Liden, dkk, 2004).
Menurut
Reber & Reber (2010) Social Loafing adalah kecenderungan individu mereduksi
upaya yang mereka lakukan terhadap sejumlah tugas ketika bekerja bersama dengan
orang lain. Dan dalam website resmi Psycholoy.About.com, disebutkan Social
Loafing adalah “..the tendency of
individuals to put forth less effort when they are part of a group.”. Williams
& Karau (1993) mengatakan bahwa Social Loafing adalah “..the reduction in motivation and effort when individuals work
collectively compared with when they work individually or coactively.” Dengan
beberapa hal diatas bisa dijelaskan (mengikuti Williams & Karau) Social
Loafing adalah reduksi atas motivasi maupun usaha yang terjadi ketika individu
bekerja secara bersama-sama ketimbang secara sendirian.
Linden,
dkk (2004) menyebutkan ada beberapa istilah yang bisa menjadi penjelasan untuk
mengawali pembahasan mengenai Social Loafing, yakni ; Lack of
identification of individual contributions to the group (Williams dkk, 1981);
lack of challenge and uniqueness of
individual contribution (Harkins & Petty, 1982); low intrinsic involvement (Brickner, Harkins& Ostrom, 1986;
George, 1992); individualistic
orientation (Wagner, 1995); low group cohesiveness (Karau & Williams,
1997); lack of peer appraisals (Druskat
& Wolff, 1999). motivational (George,
1992; Sheppard, 1993; Wagner, 1995). Namun dalam tulisan ini akan disinggung
beberapa saja.
Social
Loafing terjadi karena motivasi yang hilang akibat dari proses evaluasi dan
eliminasi mengenai kontribusi anggota dalam kelompok (Harkins, 1987; Harkins
& Szymanski, 1989; Kerr & Bruun, 1983, dalam Williams & Karrau,
1991). Dalam kesebelasan sepakbola, seorang kiper yang tidak serius menjaga
gawangnya sehingga menghasilkan banyak kebobolan seringkali menyebabkan pemain
bertahan dan pemain menyerang menjadi tidak bersemangat dalam membangun
pertahanan dan penyerangan. Kira-kira begitulah ilustrasi yang dimaksud dari
teori pertama mengenai Social Loafing. saat seorang anggota menyadari bahwa
lima dari tujuh partnernya didalam kelompok tidak menjalankan tugas sebagaimana
mestinya, dan kemudian dia menjadi ikut-ikutan untuk tidak terlalu
memperdulikan gairah mengerjakan tugas maka terjadilah Social Loafing.
Apa
kira-kira yang akan dirasakan oleh seseorang saat mengetahui bahwa ia
mendapatkan bayaran yang sama dengan
koleganya padahal ia sendiri mengerjakan tugas yang jauh lebih rumit daripada
koleganya tersebut?. Jika yang muncul adalah kehilangan motivasi dalam bekerja
dalam satu instansi akibat persoalan ini maka, Social Loafing telah terjadi
(Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986, dalam Williams & Karrau, 1991). Rasa
malas bekerja dalam satu tim, dan bekerja seadanya saja tanpa bertindak yang
lebih progresif, bisa jadi karena alasan ini. Dalam beberapa situasi penulis
sangat merasakan hal ini. Beberapa dosen atau petugas fakultas mungkin sangat
bergebu-gebu dalam menjalankan tugasnya. Bahkan jika ada tugas yang tidak
sempat ia kerjakan, penyesalan akan selalu menghantuinya. Tapi berbeda dengan
segelintir lainnya, yang tidak terlalu memperdulikan itu semua.
Social
Loafing kadang-kadang juga muncul karena bawaan asumsi yang keliru. Beberapa
anggota kelompok yang malas mengerjakan tugasnya bisa jadi karena pengaruh
asumsi subjektif buruk mereka terhadap anggota lain. Misalkan si A menilai
bahwa si B pasti tidak akan serius
mengerjakan tugas, maka si A akan jadi terbawa malas mengerjakan tugas
karena sadar dengan kecenderungan si B. Asusmi “Others in their Group Always
Loafed” menjadi contoh dari sekian banyak asumsi yang muncul atas penilaian anggota
kelompok mengenai kecenderungan peforma rekan sekelompoknya. Seorang teman pernah
mengaku kepada penulis bahwa ia tidak akan pernah menyinggung waktu pembuatan
tugas sebelum rekan satu kelompoknya yang mengawali. Alasannya karena ia
sendiri trauma dengan sikap rekan-rekannya dalam satu kelompok yang cenderung
seperti tidak memperdulikan tugas dan tidak mau berusaha. Disini terlihat bahwa
asumsi juga ternyata bisa jadi merupakan bahan materi atas pengalaman
sebelumnya. Maka benar jika kemudian Social Loafing dikaitkan dengan proses
evaluatif seseorang atas apa yang bisa dikerjakan oleh rekan sekelompoknya
berdasarkan pada pengalaman masa lalu.
Kejadian
paling umum dari Social Loafing dalam kehidupan sehari-hari adalah saat dosen
membagi kelas kedalam kelompok-kelompok presentasi. anggota kelompok yang
cenderung untuk Social Loafing, bisa jadi karena dua hal; Pertama karena dalam
satu kelompok semua adalah pemalas. Dan kedua karena dalam satu kelompok
terdapat 1 atau 2 orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
tugas tanpa harus melibatkan tenaga satu kelompok. Mendapatkan rekan pemalas
dalam satu kelompok tidak bisa dibilang malapetaka, begitu juga sebaliknya.
Dalam kasus ini ada variable-ketiga yang turut campur tangan, yakni Motivasi,
Rutinitas diluar perkuliahan, Kepercayaan diri (mungkin pada lain tempat akan
dijelaskan secara detil).
Penulis
juga pernah mengalami secara langsung kasus dimana seorang rekan berkata “saya
menjadi malas untuk bekerja dalam komunitas anda karena bagi saya komunitas
anda cenderung lekat atau bahkan identik dengan nilai organisasi tertentu”. Tampaknya
nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing anggota kelompok mempengaruhi
Social Loafing. bila nilai-nilai yang dipegang berbeda maka bisa saja Social
Loafing muncul. Setidaknya Social Loafing seperti pada fenomena psikologis
lainnya tetap perlu dicermati secara kasuistik.
Social Loafing dan
Kejengkelan atas Kinerja
Pada
kenyataannya Social Loafing merupakan fenomena yang mungkin belum sempat
diasosiasikan dengan term-term lain dalam tulisan ini. Tetapi perlu dipertegas
kalau membahas mengenai Social Loafing, term-term seperti “kemalasan”, “kinerja”,
“tugas”, “produktifitas”, “kelompok”,
“anggota”, “motivasi”, dlsb merupakan adonan wajib dalam tema ini. Maka jangan bingung jika fenomena Social
Loafing tiba-tiba dikontekskan kedalam term-term tersebut.
Tujuan
pembuatan kelompok adalah untuk mempermudah menyelesaikan tugas. Namun akan
sangat menjengkelkan jika terdapat beberapa anggota kelompok yang ternyata
tidak ikut berpartisipasi dalam proses-proses kelompok. Maka dalam organisasi
ada istilah tiga/empat orang adalah tim,
selebihnya adalah penggembira. Mungkin tidak jadi masalah jika kelompok
memiliki anggota malas, itu sudah biasa. Tetapi, lagi-lagi ini persoalannya
tidak mudah. Saat anda dibayar untuk bekerja dalam satu kelompok, dan ada beberapa
anggota yang malas anda akan dituntut, jika kinerja tidak maksimal.
Contoh
sederhana lainnya, pernah anda melihat anggota DPR yang tertidur?. Apakah itu
bisa disebut Social Loafing?. jawaban penulis adalah bisa!. DPR adalah kelompok
dengan segala regulasinya mereka harus bekerja dalam satu komisi. Jika
mengasumsikan anggota DPR yang tertidur dengan ketidakpedulian atas situasi yang sedang terjadi dan menyerahkan
tanggungjawab kepada anggota lain, maka itulah Social Loafing. rekan satu
kelompok yang tidak memiliki kepedulian dan tanggungjawab bisa disebut sebagai
penderita Social Loafing.
Social Loafing adalah
sebuah “Penyakit”
Social
Loafing adalah Social Disorder, atau gangguan sosial. Social Loafing bukan lagi
sekedar karena kecenderungan orientasi individualistik yang berlebihan
melainkan pengabaian yang besar atas tanggungjawab dalam kelompok. Selain itu
pelaku kemalasan Sosial merasa tidak
bersalah meski ia sudah menyalahi regulasi-regulasi dalam kelompok. Salah-satu
regulasi yang paling rasional menjadi alasan ketidaknormalan pelaku Social
Loafing adalah masalah Reward.
Anggota
kelompok yang benar-benar menjalankan tugas tetap saja mendapatkan reward yang
sama dengan anggota kelompok lainnya yang malas.
Tetapi harus disepakati dahulu bahwa Social Loafing harus diidentifikasi
sedemikian rupa sehingga mendeskripsikannya sebagai sebuah penyakit menjadi
objektif.
Menurut
penulis ada sejumlah besar karakteristik dari Social Loafing yang masuk pada
kategori Penyakit:
- Pelaku Social Loafing menyadari betul bahwa ia memiliki tanggungjawab dalam kelompok tapi lebih memilih untuk mengabaikan dengan alasan yang tidak penting.
- Pelaku Social Loafing menyadari bahwa rekan sekelompoknya telah dan sedang berusaha keras menyelesaikan tugas kelompok.
- Pelaku Social Loafing tidak mampu berkontribusi dengan alternatif lain dalam bentuk apapun, semisal empati, simpati, pujian, dukungan moril, dlsb.
Berdasarkan
pada karakteristik diatas, memang ada beberapa Social Loafing yang tidak masuk
pada kategori ini. Oleh karenanya meninjau fenomena ini secara kasuistik
merupakan pilihan terbaik.
Social Loafing, Kemalasan
Manusia
memiliki potensi untuk menjadi pemalas, dalam konteks Social Loafing mereka
tidak sekedar pemalas tapi lebih dari itu. Pengabaian yang luar biasa atas situasi kelompok menjadikan ini terlihat
bukan sekedar pemalas. Pemalas kehilangan motivasi, pemalas kehilangan
produktifitas.
________________________________
Daftar Pustaka
Robert C. Linden, dkk, Social Loafing: A Field Investigation, Journal of Management 2004
30(2) 285–304
Steven Karau,
Kipling D. Williams,
Social Loafing: A Meta-Analytic Review
and Theoretical Integration, Journal of Personality and Social Psychology,
1993. Vol. 65. No. 4, 681-706
Steven Karau,
Kipling D. Williams,
Social Loafing and Social Compensation:
The Effects of Expectations of Co-Worker Performance, Journal of
Personality and Social Psychology 1991, Vol. 61, No. 4, 570-581