Selasa, 12 Juni 2012

SOCIAL LOAFING : Kemalasan Social

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah


“Mengapa dalam Kelompok yang lebih besar cenderung menghasilkan kinerja yang kurang maksimal?”

“Maka dalam organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah penggembira.”

Pernahkah bertanya, Mengapa seringkali saat mendorong mobil secara berkelompok tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap berkurangnya beban mobil?, dan Mengapa beberapa orang malah seringkali tertangkap basah tidak bersungguh-sungguh mendorong mobilnya?. Fenomena ini biasa disebut sebagai Social Loafing. Social Loafing dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kemalasan Sosial, atau Penyandaran Sosial. Selain itu,  Social Loafing sendiri lebih dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George, 1992, dalam Liden, dkk, 2004).

Menurut Reber & Reber (2010) Social Loafing adalah kecenderungan individu mereduksi upaya yang mereka lakukan terhadap sejumlah tugas ketika bekerja bersama dengan orang lain. Dan dalam website resmi Psycholoy.About.com, disebutkan Social Loafing adalah “..the tendency of individuals to put forth less effort when they are part of a group.”. Williams & Karau (1993) mengatakan bahwa Social Loafing adalah “..the reduction in motivation and effort when individuals work collectively compared with when they work individually or coactively.” Dengan beberapa hal diatas bisa dijelaskan (mengikuti Williams & Karau) Social Loafing adalah reduksi atas motivasi maupun usaha yang terjadi ketika individu bekerja secara bersama-sama ketimbang secara sendirian.

Linden, dkk (2004) menyebutkan ada beberapa istilah yang bisa menjadi penjelasan untuk mengawali pembahasan mengenai Social Loafing, yakni ;  Lack of identification of individual contributions to the group (Williams dkk, 1981); lack of challenge and uniqueness of individual contribution (Harkins & Petty, 1982); low intrinsic involvement (Brickner, Harkins& Ostrom, 1986; George, 1992); individualistic orientation (Wagner, 1995); low group cohesiveness (Karau & Williams, 1997); lack of peer appraisals (Druskat & Wolff, 1999). motivational (George, 1992; Sheppard, 1993; Wagner, 1995). Namun dalam tulisan ini akan disinggung beberapa saja.

Social Loafing terjadi karena motivasi yang hilang akibat dari proses evaluasi dan eliminasi mengenai kontribusi anggota dalam kelompok (Harkins, 1987; Harkins & Szymanski, 1989; Kerr & Bruun, 1983, dalam Williams & Karrau, 1991). Dalam kesebelasan sepakbola, seorang kiper yang tidak serius menjaga gawangnya sehingga menghasilkan banyak kebobolan seringkali menyebabkan pemain bertahan dan pemain menyerang menjadi tidak bersemangat dalam membangun pertahanan dan penyerangan. Kira-kira begitulah ilustrasi yang dimaksud dari teori pertama mengenai Social Loafing. saat seorang anggota menyadari bahwa lima dari tujuh partnernya didalam kelompok tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, dan kemudian dia menjadi ikut-ikutan untuk tidak terlalu memperdulikan gairah mengerjakan tugas maka terjadilah Social Loafing.

Apa kira-kira yang akan dirasakan oleh seseorang saat mengetahui bahwa ia mendapatkan bayaran  yang sama dengan koleganya padahal ia sendiri mengerjakan tugas yang jauh lebih rumit daripada koleganya tersebut?. Jika yang muncul adalah kehilangan motivasi dalam bekerja dalam satu instansi akibat persoalan ini maka, Social Loafing telah terjadi (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986, dalam Williams & Karrau, 1991). Rasa malas bekerja dalam satu tim, dan bekerja seadanya saja tanpa bertindak yang lebih progresif, bisa jadi karena alasan ini. Dalam beberapa situasi penulis sangat merasakan hal ini. Beberapa dosen atau petugas fakultas mungkin sangat bergebu-gebu dalam menjalankan tugasnya. Bahkan jika ada tugas yang tidak sempat ia kerjakan, penyesalan akan selalu menghantuinya. Tapi berbeda dengan segelintir lainnya, yang tidak terlalu memperdulikan itu semua.

Social Loafing kadang-kadang juga muncul karena bawaan asumsi yang keliru. Beberapa anggota kelompok yang malas mengerjakan tugasnya bisa jadi karena pengaruh asumsi subjektif buruk mereka terhadap anggota lain. Misalkan si A menilai bahwa si B pasti tidak akan serius mengerjakan tugas, maka si A akan jadi terbawa malas mengerjakan tugas karena sadar dengan kecenderungan si B. Asusmi “Others in their Group Always Loafed” menjadi contoh dari sekian banyak asumsi yang muncul atas penilaian anggota kelompok mengenai kecenderungan peforma rekan sekelompoknya. Seorang teman pernah mengaku kepada penulis bahwa ia tidak akan pernah menyinggung waktu pembuatan tugas sebelum rekan satu kelompoknya yang mengawali. Alasannya karena ia sendiri trauma dengan sikap rekan-rekannya dalam satu kelompok yang cenderung seperti tidak memperdulikan tugas dan tidak mau berusaha. Disini terlihat bahwa asumsi juga ternyata bisa jadi merupakan bahan materi atas pengalaman sebelumnya. Maka benar jika kemudian Social Loafing dikaitkan dengan proses evaluatif seseorang atas apa yang bisa dikerjakan oleh rekan sekelompoknya berdasarkan pada pengalaman masa lalu.

Kejadian paling umum dari Social Loafing dalam kehidupan sehari-hari adalah saat dosen membagi kelas kedalam kelompok-kelompok presentasi. anggota kelompok yang cenderung untuk Social Loafing, bisa jadi karena dua hal; Pertama karena dalam satu kelompok semua adalah pemalas. Dan kedua karena dalam satu kelompok terdapat 1 atau 2 orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa harus melibatkan tenaga satu kelompok. Mendapatkan rekan pemalas dalam satu kelompok tidak bisa dibilang malapetaka, begitu juga sebaliknya. Dalam kasus ini ada variable-ketiga yang turut campur tangan, yakni Motivasi, Rutinitas diluar perkuliahan, Kepercayaan diri (mungkin pada lain tempat akan dijelaskan secara detil).

Penulis juga pernah mengalami secara langsung kasus dimana seorang rekan berkata “saya menjadi malas untuk bekerja dalam komunitas anda karena bagi saya komunitas anda cenderung lekat atau bahkan identik dengan nilai organisasi tertentu”. Tampaknya nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing anggota kelompok mempengaruhi Social Loafing. bila nilai-nilai yang dipegang berbeda maka bisa saja Social Loafing muncul. Setidaknya Social Loafing seperti pada fenomena psikologis lainnya tetap perlu dicermati secara kasuistik.

Social Loafing dan Kejengkelan atas Kinerja
Pada kenyataannya Social Loafing merupakan fenomena yang mungkin belum sempat diasosiasikan dengan term-term lain dalam tulisan ini. Tetapi perlu dipertegas kalau membahas mengenai Social Loafing, term-term seperti “kemalasan”, “kinerja”,  “tugas”, “produktifitas”, “kelompok”, “anggota”, “motivasi”, dlsb merupakan adonan wajib dalam tema ini.  Maka jangan bingung jika fenomena Social Loafing tiba-tiba dikontekskan kedalam term-term tersebut.

Tujuan pembuatan kelompok adalah untuk mempermudah menyelesaikan tugas. Namun akan sangat menjengkelkan jika terdapat beberapa anggota kelompok yang ternyata tidak ikut berpartisipasi dalam proses-proses kelompok. Maka dalam organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah penggembira. Mungkin tidak jadi masalah jika kelompok memiliki anggota malas, itu sudah biasa. Tetapi, lagi-lagi ini persoalannya tidak mudah. Saat anda dibayar untuk bekerja dalam satu kelompok, dan ada beberapa anggota yang malas anda akan dituntut, jika kinerja tidak maksimal.

Contoh sederhana lainnya, pernah anda melihat anggota DPR yang tertidur?. Apakah itu bisa disebut Social Loafing?. jawaban penulis adalah bisa!. DPR adalah kelompok dengan segala regulasinya mereka harus bekerja dalam satu komisi. Jika mengasumsikan anggota DPR yang tertidur dengan ketidakpedulian atas situasi yang sedang terjadi dan menyerahkan tanggungjawab kepada anggota lain, maka itulah Social Loafing. rekan satu kelompok yang tidak memiliki kepedulian dan tanggungjawab bisa disebut sebagai penderita Social Loafing.

Social Loafing adalah sebuah “Penyakit”
Social Loafing adalah Social Disorder, atau gangguan sosial. Social Loafing bukan lagi sekedar karena kecenderungan orientasi individualistik yang berlebihan melainkan pengabaian yang besar atas tanggungjawab dalam kelompok. Selain itu pelaku kemalasan Sosial merasa tidak bersalah meski ia sudah menyalahi regulasi-regulasi dalam kelompok. Salah-satu regulasi yang paling rasional menjadi alasan ketidaknormalan pelaku Social Loafing adalah masalah Reward.

Anggota kelompok yang benar-benar menjalankan tugas tetap saja mendapatkan reward yang sama dengan anggota kelompok lainnya yang malas. Tetapi harus disepakati dahulu bahwa Social Loafing harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikannya sebagai sebuah penyakit menjadi objektif.

Menurut penulis ada sejumlah besar karakteristik dari Social Loafing yang masuk pada kategori Penyakit:
  1. Pelaku Social Loafing menyadari betul bahwa ia memiliki tanggungjawab dalam kelompok tapi lebih memilih untuk mengabaikan dengan alasan yang tidak penting.
  2. Pelaku Social Loafing menyadari bahwa rekan sekelompoknya telah dan sedang berusaha keras menyelesaikan tugas kelompok.
  3. Pelaku Social Loafing tidak mampu berkontribusi dengan alternatif lain dalam bentuk apapun, semisal empati, simpati, pujian, dukungan moril, dlsb.


Berdasarkan pada karakteristik diatas, memang ada beberapa Social Loafing yang tidak masuk pada kategori ini. Oleh karenanya meninjau fenomena ini secara kasuistik merupakan pilihan terbaik.

Social Loafing, Kemalasan
Manusia memiliki potensi untuk menjadi pemalas, dalam konteks Social Loafing mereka tidak sekedar pemalas tapi lebih dari itu. Pengabaian yang luar biasa atas situasi kelompok menjadikan ini terlihat bukan sekedar pemalas. Pemalas kehilangan motivasi, pemalas kehilangan produktifitas.

________________________________
Daftar Pustaka

Robert C. Linden, dkk, Social Loafing: A Field Investigation, Journal of Management 2004 30(2) 285–304

Steven Karau, Kipling D. Williams, Social Loafing: A Meta-Analytic Review and Theoretical Integration, Journal of Personality and Social Psychology, 1993. Vol. 65. No. 4, 681-706

Steven Karau, Kipling D. Williams, Social Loafing and Social Compensation: The Effects of Expectations of Co-Worker Performance, Journal of Personality and Social Psychology 1991, Vol. 61, No. 4, 570-581

Komentar Yuk..