Sabtu, 03 Maret 2012

Ilmu Dakwah Basis Bimbingan Konseling Islami

Oleh : Rina Mulyani




Mempelajari ilmu konseling selalu identik dengan mempelajari dan menangani masalah. Berkutat dengan hal-hal yang sifatnya mengobati. Bahkan tidak jarang ketika berhadapan dengan orang-orang  yang berprofesi sebagai konselor dianggap mengerti segalanya, dapat membaca pikiran, dapat menebak kemauan pikiran, bahkan sempat disinggung konselor hampir-hampir dikatakan sebagai paranormal, demikian maindstream yang tertanam di sebagaian benak masyarakat terkait dengan profesi konselor. Sehingga harapan yang muncul, ketika bertemu dengan konselor, problem-problem bisa diatasi. 

Bagaimana dengan konselor di institusi pendidikan? Dr. MM. Sri Hastuti mengutarakan pandangannya, tidak sedikit konselor  selama ini memiliki penilaian yang belum sesuai dengan wadah yang seharusnya (selalu dianggap sebagai polisi sekolah), petugas pencatat tata tertib, menangani peserta didik yang memiliki  problem kedisiplinan, dan ajang curhat ria masalah percintaan para remaja. Padahal menurut beliau peran konselor lebih dari pada hal tersebut. Banyak perspektif yang kemudian muncul terhadap keberadaan seorang konselor hal itu disebabkan karena latar belakang perkembangan keilmuan konseling yang dirasa masih lambat dibandingkan dengan keilmuan yang lain.

Kemudian, jika di sini  Ilmu Dakwah disebut sebagai basis dari keilmuan Bimbingan Konseling Islami (BKI), lalu dimana posisi Bimbingan Konseling Islami itu  dalam bingkai ilmu dakwah?Bimbingan Konseling Islami yang akarnya telah muncul sejak  diadakan Seminar dan Lokakarya Nasional Bimbingan Konseling Islami I tanggal 15-16 Mei 1985 di UII ,Yogyakarta dengan promotor beberapa tokoh : Prof. Dr. Thohari Musnamar , Prof.Dr.Mulyani Martinah, Prof.Dr.Noeng Muhadjir, Prof.Dr. Zakiyah Derajat dkk. Bagaimana sebenarnya Bimbingan Konseling Islami ini memainkan perannya?  Apakah benar konseling dalam perspektif islam merupakan sebuah nasehat, ataukah justru konseling versi  islam lebih luas, lebih manarik, memiliki ciri khas dan memiliki tanggung jawab lebih dalam memainkan peran keilmuannya?

Jum’ah Amin Abd al-Aziz dalam “al-da’wah al-Qowa’id wa Ushul” membaginya menjadi dua kelompok : (1) Dakwah bi ahsani al Qowl, (2) Dakwah bi ahsani al amal”. Kemudian Syukriadi Sambas atas ijtihad ilmiahnya membagi menjadi empat kategori, yakni Irsyad Islam dan Tabligh Islam ( dakwah yang lebih banyak mengunakan media lisan ) dan Tadbir Islam dengan Tathwir/Tamkin islam(dakwah dengan perbuatan/tindakan nyata). (Zainal Arifin, 2009:2)

Reformulasi Definisi

Drs. H.Isep Zainal Arifin, M.Ag dalam bukunya Bimbingan Penyuluhan Islam memaparkan bahwa Bimbingan Konseling Islami memiliki basis Ilmu Dakwah. BK Islami dalam bingkai dakwah merupakan irsyad islam (yakni bagian pertama dari empat kategori yang dicanangkan oleh Jum’ah Amin Abd al-Aziz dalam “al-da’wah al-Qowa’id wa Ushul”) ,disiplin ilmu ini membentuk kompetensi utama yang fokus kajiannya adalah konseling religius dengan dasar teori sebagaimana disebutkan dalam literatur-literatur lain yakni Alqur’an dan Al Hadist serta teori-teori bantu yang sedang berkembang dan hasil-hasil riset yang terkait sejauh tidak bertentangan dengan sumber pokok. Dari istilah ini (Irsyad Islam) memiliki istilah lain yakni ta’lim, tawjih, maw’izhah, nashihah dan isytisyfa /psikoterapi (psikoterapi adalah cabang lain dari irsyad islam yang berbeda penjelasan dengan Bimbingan Konseling). Irsyad Islam, Zainal memaparkan merupakan proses pemberian bantuan terhadap diri sendiri(irsyad nafsiyah), Individu (irsyad fardiyah) atau kelompok kecil (irsyad fi’ah qolilah) agar keluar dari berbagai kesulitan dan memperoleh ridho Allah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Isep zainal kemudian melanjutkan bahwa BKI yang berkembang di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, khususnya Fakultas Dakwah (karena perkembangan Konseling Islami memang berada di bawah naungan Fakultas Dakwah) tidak memiliki kesenjangan yang terlalu jauh dengan BK Konvensional yakni agar keluar dari berbagai problem yang dialami dindividu dengan kekuatannya sendiri. Sebagaimana yang dipaparkan,  perbedaanya terletak pada dasar nilai yang mewarnainya, yaitu BKI senantiasa mengaitkannya dengan norma agama sehingga lebih bersifat Psiko-teo-antroposentris yaitu konsep Bimbingan Konseling yang bersandar kepada kemutlakan Tuhan dan maksimalnya ikhtiar manusia, artinya tidak sekuler sebagaimana yang diajarkan freud, skinner, pavlov,dll.

Arah Pengembangan

Dalam hal ini Konseling terbagi dalam dua bentuk, yakni konseling psikologis dan konseling pendidikan. Dimana sejak tahun 1963 konseling memang masuk ke indonesia melalui jalur pendidikan, dan tidak dipungkiri jika dibandingkan dengan konseling psikologis konseling pendidikan di indonesia mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat. Apalagi dikukuhknnya konseling pendidikan sebagai sebuah profesi, menimbulkan kesan seolah-olah konseling hanya dimiliki oleh bidang pendidikan.. Konseling bidang pendidikan dibuka di Fakultas Tarbiyah, sedangkan konseling psikologis masih bertahan di Fakultas Dakwah.Tampaklah di sini konseling di lingkungan Fakultas Dakwah akan mengalami kebingungan ke mana arah pengembangannya, apakah ke konseling pendidikan atau konseling psikologis, hal ini terjadi karena ketiadaan paradigma epistimologi yang jelas.

Sebagai penutup tulisan ini Drs.H.Isep Zainal Arifn, M.Ag mengutarakan pendapatnya yang dalam hal ini penulis turut memberikan dukungan yakni kaitanya dengan dua arus konseling yang berkembang di indonesia, maka BKI tidak seharusnya mengarah kepada salah satu dari dua corak konseling tersebut. Tetapi justru memadukan keduanya dengan mengakar kepada paradigma kedakwahan. Hal ini mempertegas posisi BKI sebagai model Bimbingan Konseling   yang jelas memiliki substansi nilai yang berbeda. Bimbingan Konseling religius justru menjadi titik pembeda dengan Bimbingan Konseling lainnya  tanpa mengesampingkan teori dan disiplin ilmu konseling umum yang lebih dulu mapan dengan keilmuannya. Harapannya tipe dan model konseling religius menjadi media dakwah bagi konselor yang akan mengokohkan BKI di tengah masyarakat baik melalui jalur pendidikan maupun non pendidikan, sehingga memiliki religiusitas dan intelektualitas yang tinggi dalam menghadapi problematika  kehidupan.

Komentar Yuk..