Oleh : Rina Mulyani
Mempelajari ilmu
konseling selalu identik dengan mempelajari dan menangani masalah. Berkutat
dengan hal-hal yang sifatnya mengobati. Bahkan tidak jarang ketika berhadapan
dengan orang-orang yang berprofesi
sebagai konselor dianggap mengerti segalanya, dapat membaca pikiran, dapat
menebak kemauan pikiran, bahkan sempat disinggung konselor hampir-hampir dikatakan
sebagai
paranormal, demikian maindstream yang tertanam di sebagaian benak masyarakat
terkait dengan profesi konselor. Sehingga harapan yang muncul, ketika bertemu
dengan konselor, problem-problem
bisa diatasi.
Bagaimana dengan
konselor di institusi pendidikan? Dr. MM. Sri Hastuti mengutarakan
pandangannya, tidak sedikit konselor selama ini memiliki penilaian yang belum
sesuai dengan wadah yang seharusnya (selalu dianggap sebagai polisi sekolah),
petugas pencatat tata tertib, menangani peserta didik yang memiliki problem kedisiplinan, dan ajang curhat ria masalah
percintaan para remaja. Padahal menurut beliau peran konselor lebih dari pada
hal tersebut. Banyak perspektif yang kemudian muncul terhadap keberadaan
seorang konselor hal itu disebabkan
karena latar belakang perkembangan keilmuan konseling yang dirasa masih lambat
dibandingkan dengan keilmuan yang lain.
Kemudian, jika
di sini Ilmu Dakwah disebut sebagai
basis dari keilmuan Bimbingan Konseling Islami (BKI), lalu dimana posisi
Bimbingan Konseling Islami itu dalam bingkai ilmu dakwah?Bimbingan
Konseling Islami yang akarnya
telah
muncul sejak diadakan Seminar dan Lokakarya
Nasional Bimbingan Konseling Islami I tanggal 15-16 Mei 1985 di UII
,Yogyakarta dengan promotor beberapa tokoh : Prof. Dr. Thohari Musnamar , Prof.Dr.Mulyani
Martinah, Prof.Dr.Noeng Muhadjir, Prof.Dr. Zakiyah Derajat dkk. Bagaimana sebenarnya
Bimbingan Konseling Islami ini
memainkan perannya? Apakah benar
konseling dalam perspektif islam merupakan sebuah nasehat, ataukah justru
konseling versi islam lebih luas, lebih manarik,
memiliki ciri khas dan memiliki tanggung jawab lebih dalam memainkan peran
keilmuannya?
Jum’ah Amin Abd
al-Aziz dalam “al-da’wah al-Qowa’id wa Ushul” membaginya menjadi dua
kelompok : (1) Dakwah bi ahsani al Qowl, (2) Dakwah bi ahsani al amal”. Kemudian
Syukriadi Sambas atas ijtihad ilmiahnya membagi menjadi empat kategori, yakni Irsyad Islam dan Tabligh Islam ( dakwah
yang lebih banyak mengunakan media lisan ) dan Tadbir Islam dengan Tathwir/Tamkin islam(dakwah dengan
perbuatan/tindakan nyata). (Zainal Arifin, 2009:2)
Reformulasi Definisi
Drs. H.Isep
Zainal Arifin, M.Ag dalam bukunya Bimbingan Penyuluhan Islam memaparkan bahwa Bimbingan Konseling Islami memiliki
basis Ilmu Dakwah. BK Islami
dalam bingkai dakwah merupakan irsyad
islam (yakni bagian pertama dari empat kategori yang dicanangkan oleh
Jum’ah Amin Abd al-Aziz
dalam
“al-da’wah al-Qowa’id wa Ushul”) ,disiplin ilmu
ini membentuk kompetensi utama yang fokus kajiannya adalah konseling religius
dengan dasar teori sebagaimana disebutkan dalam literatur-literatur lain yakni
Alqur’an dan Al Hadist serta teori-teori bantu yang sedang berkembang dan
hasil-hasil riset yang terkait sejauh tidak bertentangan dengan sumber pokok.
Dari istilah ini (Irsyad Islam) memiliki istilah lain yakni ta’lim, tawjih, maw’izhah, nashihah dan
isytisyfa /psikoterapi
(psikoterapi adalah cabang lain dari irsyad islam yang berbeda penjelasan
dengan Bimbingan Konseling). Irsyad Islam, Zainal memaparkan merupakan proses pemberian bantuan
terhadap diri sendiri(irsyad nafsiyah), Individu (irsyad fardiyah) atau
kelompok kecil (irsyad fi’ah qolilah) agar keluar dari berbagai kesulitan dan
memperoleh ridho Allah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Isep zainal
kemudian melanjutkan
bahwa BKI yang berkembang di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, khususnya
Fakultas Dakwah (karena
perkembangan Konseling Islami memang
berada di bawah naungan Fakultas Dakwah) tidak memiliki kesenjangan yang
terlalu jauh dengan BK Konvensional yakni agar keluar dari berbagai problem
yang dialami dindividu dengan kekuatannya sendiri. Sebagaimana yang dipaparkan,
perbedaanya terletak pada dasar nilai
yang mewarnainya, yaitu BKI senantiasa mengaitkannya dengan norma agama
sehingga lebih bersifat Psiko-teo-antroposentris
yaitu konsep Bimbingan Konseling yang bersandar kepada kemutlakan Tuhan dan
maksimalnya ikhtiar manusia, artinya tidak sekuler sebagaimana yang diajarkan
freud, skinner, pavlov,dll.
Arah Pengembangan
Dalam
hal ini Konseling terbagi dalam dua bentuk, yakni konseling psikologis dan konseling
pendidikan. Dimana sejak tahun 1963 konseling memang masuk ke indonesia
melalui jalur pendidikan, dan tidak dipungkiri jika dibandingkan dengan
konseling psikologis konseling pendidikan di indonesia mengalami perkembangan
yang jauh lebih pesat. Apalagi dikukuhknnya konseling pendidikan sebagai sebuah
profesi, menimbulkan kesan seolah-olah konseling hanya dimiliki oleh bidang
pendidikan.. Konseling bidang pendidikan dibuka di Fakultas Tarbiyah, sedangkan
konseling psikologis masih bertahan di Fakultas Dakwah.Tampaklah di sini
konseling di lingkungan Fakultas Dakwah akan mengalami kebingungan ke mana arah
pengembangannya, apakah ke konseling pendidikan atau konseling psikologis, hal
ini terjadi karena ketiadaan paradigma epistimologi yang jelas.
Sebagai penutup
tulisan ini Drs.H.Isep Zainal Arifn, M.Ag mengutarakan pendapatnya yang dalam
hal ini penulis turut memberikan dukungan yakni kaitanya dengan dua arus
konseling yang berkembang di indonesia, maka BKI tidak seharusnya mengarah
kepada salah satu dari dua corak konseling tersebut. Tetapi justru
memadukan keduanya dengan mengakar kepada paradigma kedakwahan. Hal ini
mempertegas posisi BKI sebagai model Bimbingan Konseling yang jelas memiliki substansi nilai yang
berbeda. Bimbingan Konseling religius justru menjadi titik pembeda dengan
Bimbingan Konseling lainnya tanpa mengesampingkan
teori dan disiplin ilmu konseling umum yang lebih dulu mapan dengan
keilmuannya. Harapannya tipe dan model konseling religius menjadi media dakwah bagi konselor yang akan
mengokohkan BKI di tengah masyarakat baik melalui jalur pendidikan maupun non
pendidikan, sehingga
memiliki religiusitas dan intelektualitas
yang tinggi dalam menghadapi problematika
kehidupan.