Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Anarkisme,
kekerasan, Seks, dan Sistem Pendidikan adalah empat variabel yang paling banyak
muncul ke permukaan jika membahas persoalan siswa karena pada saat yang
bersamaan mereka dapat menjadi korban sekaligus pelaku. Mengambil jangka waktu
tiga tahun terakhir, 2011 sampai 2013 terdapat sejumlah fakta yang perlu kita
bongkar dan selesaikan mengenai masalah aktual dunia Pendidikan kita. Ke empat
topik pokok tersebut dapat terbagi ke dalam beberapa garis besar contoh kasus
yang muncul di media dua sampai tiga tahun terakhir. Anarkisme dan kekerasan
adalah topik yang paling sering muncul. Anarkisme misalnya dapat berkisah
mengenai tawuran, pembangkangan, pengrusakan fasilitas sekolah, dan kekerasan
dapat berkisar pada kasus bully, pemerkosaan hingga pembunuhan. Sedangkan seks,
adalah permasalahan klasik dunia pendidikan yang berkisar soal seks bebas,
hingga bentuk yang “mutakhir” sekarang adalah siswa menjadi PSK dan siswa
menjadi mucikari.
Anarkisme
Menjelang
akhir tahun 2012, korban tawuran sesama siswa pada september hingga desember
2012 adalah Alawi Yusianto Putra (SMAN 6), Jeremy Hasibuan (SMA Kartika),
Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani (SMK 39 Cempaka
Putih). 15 Mei 2013, kasus Wahyudi Kurniawan (19 tahun) siswa SMKN 35, Jakarta
Barat yang meninggal karena terkena celurit setelah tawuran seakan kembali
mengingatkan kita kepada para korban-korban meninggal sebelumnya. Penyelesaian
kasus anarkisme di kalangan siswa masih belum tuntas. Pernyataan-pernyataan
individu dari anggota DPR masih terbukti belum dapat di implementasikan secara
kongkrit. Aksi mediasi polisi pada kasus SMAN 6 dan SMAN 70 misalnya, masih
memerlukan tindakan yang lebih lanjut.
Anarkisme
siswa memang bukan masalah baru. Anarkisme yang muncul dalam bentuk tawuran,
pembangkangan terhadap aturan, dan tindakan-tindakan sadisme mungkin tidak akan
pernah selesai. Anarkisme siswa adalah representasi dari apa yang kita sebut
sebagai mekanisme pertahanan diri. Manusia secara umum mengambil sejumlah
bentuk tindakan berdasarkan pada keputusan-keputusan yang dibuat atas dasar
analisisnya terhadap lingkungan dan faktor internal dalam diri sendiri karena
kebutuhan untuk mempertahankan diri. Anarkisme siswa juga dapat dilihat sebagai
celah dari sistem sosial masyarakat yang masih membiasakan diri dengan tindakan
kekerasan sebagai jalan pintas menyelesaikan persoalan.
Kekerasan dan
Sadisme
April
2013, Priya Puspita Restanti (16 tahun) siswi SMK YPKK, Sleman, DIY ditemukan
sudah tidak bernyawa dalam kondisi membusuk. PPR adalah korban pemerkosaan yang
dilakukan oleh sekelompok remaja beserta dua orang pria dewasa. Kasus kekerasan
dan sadisme juga menimpa Septiana Pangesti (16 tahun) siswi kelas 9 Kalimanah,
Purbalingga pada Januari 2013 yang dibunuh dan dikubur oleh rekannya, RAS (16
tahun) warga desa Karangsari, Kalimanah. Maret 2013, juga sebuah kasus
pemerkosaan dialami NR (15 tahun) di Jakarta Timur.
Dalam
kasus kekerasan dan sadisme, pelaku juga bisa berasal dari lingkungan keluarga,
Vicky Riska Suparmin (9 tahun) dibunuh oleh ibu kandungnya, dan ada M (16
tahun) warga desa Tulakan, Sine, Ngawi, Jawa Timur yang diperkosa dan dibunuh
oleh bapak kandungnya sendiri.
Di
Indonesia, terdapat sekitar 3.969 kasus kekerasan dan pemerkosaan siswa antara
tahun 1999-2002, dengan rincian; kekerasan seksual (65.8 %), kekerasan fisik
(19.6 %), kekerasan emosional (6.3 %), dan penelantaran anak (8.3 %) sedangkan yang
terbaru, pada tahun 2012, terdapat sekitar 2.637 kasus yang berasal dari
pengaduan anak atas kekerasan termasuk 62 % diantaranya adalah kekerasan seksual
(Kedaulatan Rakyat, Nurlaili, 2013).
Seks Anak Bau
Kencur
8
Juni 2013, mucikari bernama NA (15 tahun) ditangkap oleh pihak berwajib di
salah satu hotel yang ada di Surabaya Selatan. NA adalah Siswi kelas VIII salah
satu SMP Swasta di Gubeng. NA ditangkap bersama dengan DA (17 tahun), DL (16
tahun) dan NR (17 tahun) Siswi SMK swasta kelas X. April 2013, polisi menangkap
N, seorang siswi SMP saat menjajakan diri di kawasan gang semen, Cipayung,
Megamendung, Bogor.
Topik
seks dalam konteks siswa tidak lagi sekedar pada topik seperti seks bebas. Seks,
sekarang dimanfaatkan sebagai media alternatif untuk mendapatkan pemasukan
finasial. Meningkatnya kebutuhan finasial siswa sebagai remaja dalam konteks
sosial menyebabkan mereka menempuh cara-cara instan. Kebutuhan seperti hidup
mengikuti tren, yang semula hanyalah bagian dari kebutuhan sekunder (bahkan
mungkin tertier), sekarang berubah menjadi kebutuhan primer.
Status
sosial di kalangan siswa juga berubah menjadi pemenuhan barang-barang “mewah”.
Meskipun ada motif untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang mewah,
seringkali kita juga menemukan siswi dengan alasan membantu ekonomi keluarga
yang terjun ke dalam bisnis seks. Mei 2013, pengakuan Eka (17 tahun) siswi SMA
di Kupang, misalnya yang mengaku menjajakan diri karena terdorong untuk
membantu orang tua, mungkin jika diselidik lebih jauh akan ditemukan beberapa
kasus serupa di beberapa daerah di Indonesia.
Menyesal dan mari
selesaikan
Siswa
adalah individu yang memiliki tiga dimensi dunia pada saat yang bersamaan.
Dimensi tersebut terbagi pada dimensi keluarga, dimensi lingkungan sekolah dan
dimensi masyarakat luas. Tiga masalah; anarkisme, kekerasan dan seks terjadi
pada tiga dimensi siswa ini. Oleh karenanya, masalah siswa adalah masalah kita
bersama. Menyalahkan sistem pendidikan, sebagai satu-satunya dalil atas
ketidakberesan siswa bukan cara yang paling mujarab. Sistem pendidikan pada
akarnya juga berasal dari kesepakatan kita terhadap apa yang disebut sebagai sebuah
sistem dan mekanisme. Kita sendirilah yang menciptakan sistem, maka konsekuensi
logis, termasuk kegagalan-kegagalannya adalah buah tangan kita sendiri juga.
Satu-satunya
cara yang dapat dilakukan secepatnya adalah dengan menciptakan kondisi komunikasi
yang baik antara siswa dengan orang tua, dan lingkungan sekitar. Orang tua,
guru dan masyarakat harus pro-aktif menjadi pendengar yang setia bagi siswa.
Menyediakan ruang untuk berkomunikasi; mendengar keluhan mereka akan menjadi
oase psikologis dan sosial bagi siswa. Masalah-masalah yang muncul sedikitnya
disebabkan oleh disfungsi komunikasi dan kurangya kepekaan masyarakat terhadap
siswa. Kasus kekerasan terhadap siswa seperti yang kita lihat sejak tahun 2000
hingga 2012 masih terus tinggi. masyarakat perlu meningkatkan lagi kepekaan
sosial untuk menjaga stabilitas moral. Anarkisme, kekerasan, dan seks siswa
mungkin tidak mudah dipangkas sampai ke akar-akar, akan tetapi jika tidak
melakukan apapun kita berarti memang merestui kasus-kasus yang menyesakkan dada
tersebut terjadi berulang-ulang dan merengut korban yang entah akan bertambah
berapa banyak lagi.
Kaleidoskop
ini tidak ditujukan untuk menafikan hal-hal positif mengenai siswa. Siswa atau
pelajar Indonesia sejak awal abad 19 sudah terkenal akan kecerdasannya.
Pelajar-pelajar kita terbukti mampu berkompetisi bersama dengan pelajar dari
Negara manapun. Kompetisi fisika, matematika, dan inovasi teknologi sudah
beberapa kali menjadi langganan para siswa Indonesia. Akan tetapi komposisi
siswa kita juga ada yang tidak merasakan betapa indahnya masa bersosialisasi
secara sehat saat menempuh bangku sekolah. Nah sekarang tinggal bagaimana kita
mengadakan pemerataan situasi pendidikan yang ramah siswa ke seluruh Indonesia,
sehingga muncul “laskar pelangi” yang tidak mengutuk nasib saja.
*Artikel ini pernah dimuat Repuplika, 19 Juni 2013 dengan judul "Bertutur dalam Optimisme ; Kaleidoskop Siswa"