Kamis, 29 Desember 2011

MIMBAR MAHASISWA ; ILMU DAN ETIKA

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah



Menimbang Kekuatan

Tidak bisa tidak kita nafikan kesadaran tertinggi manusia adalah bersifat kritis, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Paulo Freire. Ungkapan kesadaran tertinggi ini mungkin sedikit berlebihan namun kenyataan yang terungkap lewat aktifitas demo mahasiswa cukup  menggambarkan bagaimana bisa saja asumsi ini terjadi. Sifat kritis memang pembuka siklus lompatan paradigma dan dipandang sebagai bentuk dasar pembeda eksistensi mahasiswa dan siswa, tapi apakah itu sepenuhnya benar?.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan demikian setidaknya kita perlu dasar sumber “hukum” materil meskipun akan lebih penting jika kita juga memakai sumber hukum formil. Secara materil, eksistensi mahasiswa memang terekam lewat peristiwa-peristiwa besar Negara. Hingga akhirnya mahasiswa mendapat predikat agent of change, sebuah diksi yang secara hitungan kasar sebenarnya tidak sepenuhnya juga absolute, salah seorang wartawan senior Repuplika dalam salah satu diskusi terbuka pernah mengungkapkan agent of change yang sebenarnya adalah masyarakat. Baru pada taraf seperti ini terjadi tarik ulur antara eksistensi dan kejelasan eksistensi. Oleh karenanya untuk pada masalah tarik ulur seperti ini maka muncul sumber hukum formil yang nantinya akan mengarahkan dan setidaknya cukup untuk menjawab sebenarnya apa peran mahasiswa terhadap sekitarnya walaupun jika ia bukan agent of change.

Cukup jelas tertuang dalam Bab IV Tentang Hak Mahasiswa (Tata Tertib Mahasiswa) point a, yang berbunyi, “memanfaatkan kebebasan mimbar akademik untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat, baik lisan maupun tertulis, secara etis dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.  Secara formil peraturan yang berlaku pada wilayah UIN Sunan Kalijaga telah membuka ruang bagi segenap warga akademis untuk secara terbuka memanfaatkan yang namanya “Mimbar”. Namun tentu persyaratan pemanfaatan mimbar ini juga tetap dikawal oleh kaidah-kaidah tertentu. Yang pertama adalah bentuk penyampaian pendapat dapat bersifat lisan dan tertulis. Yang kedua etis dan bertanggung jawab, penyampaian gagasan lewat lisan dan tulisan haruslah memiliki pegangan metodologi yang kuat dan didukung analisis yang relevan. Fungsinya adalah agar pertanggungjawabannya jelas, sebagai warga akademis, akan cukup memalukan jika sampai pada point ini terlewatkan, dan ini berlaku bagi seluruhnya. Yang ketiga sesuai dengan perundangan yang berlaku artinya antara point pertama dan kedua tidak melangkahi perujukan peraturan yang lainnya, contohnya, pelaksanaan Bab IV Tentang Hak Mahasiswa point a, ini tidak bisa sampai bertentangan dengan UUD yang berlaku di Indonesia (karena dalam paradigma Ilmu Hukum, muatan yuridis yang menyatakan bahwa pelaksanaan-peraturan ‘sesuatu’ tidak bisa bertentangan dengan hukum yang nilainya lebih tinggi) atau sederhanya saja dalam kitab peraturan yang sama tidak bisa kita melangkahi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran Sedang. (isi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran Sedang yang mungkin saja terjadi adalah point b : Mengundang Dan/Atau Membawa Pihak Luar Universitas Ke Dalam Kampus Untuk Berdemonstrasi, dan point c : Mengganggu Kelancaran Proses Belajar-Mengajar Dan/Atau Kegiatan Perkantoran).


Mimbar (Mahasiswa) adalah Ilmu dan Etika

Pada bagian pertama tulisan ini berisi penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya kekuatan mahasiswa dalam menggulirkan wacana, protes, dan pendapat. Hal ini perlu untuk dipertegas untuk menghindari adanya kekeliruan dalam membawa title suci “agent of change” tapi dengan kemasan yang frontalis. Pengguliran wacana, protes dan pendapat perlu secara tegas memiliki dalih yang disepakati agar tidak terjadi kesalahan dalam standar operasi kegiatan.

Mimbar adalah ilmu dan etika, wacana, protes dan pendapat tentu agar mendapatkan respon dan terjalinnya kerja sama perlu dasar pembangunan yang realistis, tidak subjektif, serta bukan profokasi. Oleh karenanya akan sangat tidak mungkin pengguliran wacana, protes dan pendapat melalui “kenyataan abstrak”, tentulah butuh rentetan logis antara tiap-tiap premisnya. Rentetan logis dalam premis akan memperlihatkan nilai pertanggungjawabannya dan akan menghindarkan kita seperti memancing di air yang keruh, sehingga berharap dapat tapi sejatinya hanya menunggu jatuhnya keajaiban.

Ilmu berarti pengetahuan terhadap sesuatu yang telah tersistematiskan, berarti memang pada dasarnya ilmu perlu penjelasan-penjelasan yang ‘utuh’. Sederhananya dalam menggulirkan wacana, protes dan pendapat, penggunaan ilmu sebagai perangkat analisis akan mempermudah kita dalam menyusun perencanaan dimulai dari unsur-unsur stakeholder, yang mana harus jelas, siapa yang dituju, unsur-unsur apa saja yang berkaitan dengan pengguliran wacana, protes dan pendapat tersebut.

Hal yang sesungguhnya kita hindari adalah propaganda didalam pengguliran wacana, protes dan pendapat. Sebagai mahasiswa kita tentu sangat tidak ingin berbagai unsur terlarang masuk pada kegiatan ‘pemanfaatan mimbar’. Mungkin akan menjadi semacam aib jika seandainya mahasiswa ternyata tidak menyadari bentuk propaganda dibalik pesan-pesan profokatif. Maka peran Ilmu sebagai perangkat analisis akan sangat membantu agar kita tidak ditunggangi kepentingan politik. Dengan perangkat analisis yang jelas tentu akan menambah nilai tambah tersendiri.

Namun tidak berhenti disitu saja, muncul juga skeptisisme dalam penggunaan perangkat analisis ini, apakah akan ada relevansinya?, bagaimana menunjang perangkat analisis agar mampu dijadikan senjata tapi tanpa melukai pihak lain?. Jawabannya adalah etika. Permainan kata-kata atau retorika sebagai produk dari perangkat analisis tentunya tidak pula seratus persen bisa kita pegang. Sebaik-baiknya kritis adalah menentukan duduk persoalan kemudian melihatnya dengan perspektif luas dengan horizon yang tinggi. Setidaknya itulah yang menjadi pegangan pribadi penulis. pemandangan yang sama akan memunculkan interpretasi yang bisa jadi 360 derajat berbeda. Jadi memang atmosfir yang terjadi relativif pada bagian ini tidak akan memunculkan waham-waham baru.

Karenanya memang perangkat analisis memerlukan etika. Etika akan mencoba membendung terbentuknya waham-waham baru. Meskipun pada tataran idealnya pengguliran wacana, protes dan pendapat adalah bertujuan untuk mengubah tapi juga tidak boleh didasarkan pada arogansi keilmuan sehingga tidaklah kita menjadi pembaharu yang bijak dan arif tapi malah sesat. Ilmu adalah ibarat senjata dan etika sebagai nurani pertimbangan. Sebagus apapun perangkatnya jika hanya melukai sesama tanpa ada lintas kearifan lokal didalamnya sama saja kita dengan takabur dan ‘pemanfaatan mimbar’ hanya akan menjadi retorika kosong dengan misi semu dan cenderung insidental.

Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas maka langkah selanjutnya adalah mulai untuk membuka lebar-lebar pendengaran dan penglihatan dan bersikaplah kritis!.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib

Komentar Yuk..