Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Menimbang Kekuatan
Tidak bisa tidak kita nafikan kesadaran
tertinggi manusia adalah bersifat kritis, sebagaimana juga yang diungkapkan
oleh Paulo Freire. Ungkapan kesadaran tertinggi ini mungkin sedikit berlebihan
namun kenyataan yang terungkap lewat aktifitas demo mahasiswa cukup menggambarkan bagaimana bisa saja asumsi ini
terjadi. Sifat kritis memang pembuka siklus lompatan paradigma dan dipandang
sebagai bentuk dasar pembeda eksistensi mahasiswa dan siswa, tapi apakah itu
sepenuhnya benar?.
Untuk mencoba menjawab pertanyaan
demikian setidaknya kita perlu dasar sumber “hukum” materil meskipun akan lebih
penting jika kita juga memakai sumber hukum formil. Secara materil, eksistensi
mahasiswa memang terekam lewat peristiwa-peristiwa besar Negara. Hingga
akhirnya mahasiswa mendapat predikat agent of change, sebuah diksi yang
secara hitungan kasar sebenarnya tidak sepenuhnya juga absolute, salah seorang
wartawan senior Repuplika dalam salah satu diskusi terbuka pernah mengungkapkan
agent of change yang sebenarnya adalah masyarakat. Baru pada taraf seperti ini
terjadi tarik ulur antara eksistensi dan kejelasan eksistensi. Oleh karenanya
untuk pada masalah tarik ulur seperti ini maka muncul sumber hukum formil yang
nantinya akan mengarahkan dan setidaknya cukup untuk menjawab sebenarnya apa
peran mahasiswa terhadap sekitarnya walaupun jika ia bukan agent of change.
Cukup jelas tertuang dalam Bab IV
Tentang Hak Mahasiswa (Tata Tertib Mahasiswa) point a, yang berbunyi, “memanfaatkan
kebebasan mimbar akademik untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat, baik lisan
maupun tertulis, secara etis dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku”. Secara
formil peraturan yang berlaku pada wilayah UIN Sunan Kalijaga telah membuka ruang
bagi segenap warga akademis untuk secara terbuka memanfaatkan yang namanya
“Mimbar”. Namun tentu persyaratan pemanfaatan mimbar ini juga tetap dikawal
oleh kaidah-kaidah tertentu. Yang pertama adalah bentuk penyampaian pendapat
dapat bersifat lisan dan tertulis. Yang kedua etis dan bertanggung jawab,
penyampaian gagasan lewat lisan dan tulisan haruslah memiliki pegangan
metodologi yang kuat dan didukung analisis yang relevan. Fungsinya adalah agar pertanggungjawabannya
jelas, sebagai warga akademis, akan cukup memalukan jika sampai pada point ini
terlewatkan, dan ini berlaku bagi seluruhnya. Yang ketiga sesuai dengan perundangan
yang berlaku artinya antara point pertama dan kedua tidak melangkahi perujukan
peraturan yang lainnya, contohnya, pelaksanaan Bab IV Tentang Hak Mahasiswa
point a, ini tidak bisa sampai bertentangan dengan UUD yang berlaku di
Indonesia (karena dalam paradigma Ilmu Hukum, muatan yuridis yang menyatakan
bahwa pelaksanaan-peraturan ‘sesuatu’ tidak bisa bertentangan dengan
hukum yang nilainya lebih tinggi) atau sederhanya saja dalam kitab peraturan
yang sama tidak bisa kita melangkahi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran
Sedang. (isi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran Sedang yang
mungkin saja terjadi adalah point b : Mengundang Dan/Atau Membawa Pihak Luar
Universitas Ke Dalam Kampus Untuk Berdemonstrasi, dan point c :
Mengganggu Kelancaran Proses Belajar-Mengajar Dan/Atau Kegiatan Perkantoran).
Mimbar (Mahasiswa) adalah Ilmu dan Etika
Pada bagian pertama tulisan ini berisi
penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya kekuatan mahasiswa dalam menggulirkan
wacana, protes, dan pendapat. Hal ini perlu untuk dipertegas untuk menghindari
adanya kekeliruan dalam membawa title suci “agent of change” tapi dengan
kemasan yang frontalis. Pengguliran wacana, protes dan pendapat perlu
secara tegas memiliki dalih yang disepakati agar tidak terjadi kesalahan dalam
standar operasi kegiatan.
Mimbar adalah ilmu dan etika, wacana,
protes dan pendapat tentu agar mendapatkan respon dan terjalinnya kerja sama
perlu dasar pembangunan yang realistis, tidak subjektif, serta bukan profokasi.
Oleh karenanya akan sangat tidak mungkin pengguliran wacana, protes dan
pendapat melalui “kenyataan abstrak”, tentulah butuh rentetan logis antara
tiap-tiap premisnya. Rentetan logis dalam premis akan memperlihatkan nilai
pertanggungjawabannya dan akan menghindarkan kita seperti memancing di air yang
keruh, sehingga berharap dapat tapi sejatinya hanya menunggu jatuhnya
keajaiban.
Ilmu berarti pengetahuan terhadap sesuatu
yang telah tersistematiskan, berarti memang pada dasarnya ilmu perlu
penjelasan-penjelasan yang ‘utuh’. Sederhananya dalam menggulirkan wacana,
protes dan pendapat, penggunaan ilmu sebagai perangkat analisis akan
mempermudah kita dalam menyusun perencanaan dimulai dari unsur-unsur
stakeholder, yang mana harus jelas, siapa yang dituju, unsur-unsur apa saja
yang berkaitan dengan pengguliran wacana, protes dan pendapat tersebut.
Hal yang sesungguhnya kita hindari adalah
propaganda didalam pengguliran wacana, protes dan pendapat. Sebagai mahasiswa
kita tentu sangat tidak ingin berbagai unsur terlarang masuk pada kegiatan
‘pemanfaatan mimbar’. Mungkin akan menjadi semacam aib jika seandainya mahasiswa
ternyata tidak menyadari bentuk propaganda dibalik pesan-pesan profokatif. Maka
peran Ilmu sebagai perangkat analisis akan sangat membantu agar kita tidak
ditunggangi kepentingan politik. Dengan perangkat analisis yang jelas tentu
akan menambah nilai tambah tersendiri.
Namun tidak berhenti disitu saja, muncul
juga skeptisisme dalam penggunaan perangkat analisis ini, apakah akan ada
relevansinya?, bagaimana menunjang perangkat analisis agar mampu dijadikan
senjata tapi tanpa melukai pihak lain?. Jawabannya adalah etika. Permainan
kata-kata atau retorika sebagai produk dari perangkat analisis tentunya tidak
pula seratus persen bisa kita pegang. Sebaik-baiknya kritis adalah menentukan
duduk persoalan kemudian melihatnya dengan perspektif luas dengan horizon yang
tinggi. Setidaknya itulah yang menjadi pegangan pribadi penulis. pemandangan
yang sama akan memunculkan interpretasi yang bisa jadi 360 derajat berbeda.
Jadi memang atmosfir yang terjadi relativif pada bagian ini tidak akan
memunculkan waham-waham baru.
Karenanya memang perangkat analisis memerlukan
etika. Etika akan mencoba membendung terbentuknya waham-waham baru. Meskipun
pada tataran idealnya pengguliran wacana, protes dan pendapat adalah bertujuan
untuk mengubah tapi juga tidak boleh didasarkan pada arogansi keilmuan sehingga
tidaklah kita menjadi pembaharu yang bijak dan arif tapi malah sesat. Ilmu adalah
ibarat senjata dan etika sebagai nurani pertimbangan. Sebagus apapun
perangkatnya jika hanya melukai sesama tanpa ada lintas kearifan lokal didalamnya
sama saja kita dengan takabur dan ‘pemanfaatan mimbar’ hanya akan menjadi retorika
kosong dengan misi semu dan cenderung insidental.
Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas
maka langkah selanjutnya adalah mulai untuk membuka lebar-lebar pendengaran dan
penglihatan dan bersikaplah kritis!.
Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa
Fathun Qorib