Minggu, 11 Desember 2011

Guru, Siswa dan Pendidikan Karakter

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Suatu ketika didalam bus angkutan umum, beberapa siswa SMA duduk berjejeran, bersama dengan penumpang lainnya. Hingga berhentilah bus tersebut disalah satu shelter pemberhentian, dan masuk nenek renta kedalam bus, dengan sedikit tertatih-tatih beliau masuk kedalam bus berusaha mencari tempat duduk. namun sayangnya, semua tempat duduk sudah terisi. Dengan helaan nafas kecapekan, beliau terpaksa mencoba meraih pegangan tangan diatap bus, tidak terlihat satupun dari barisan siswa SMA tersebut berdiri dan mempersilahkan beliau untuk duduk. Pandangan para siswa tersebut acuh, dan seakan tidak mau tahu. Melihat beliau kesulitan, seorang wanita kantoran cepat berespon dan merangkul si nenek tersebut dan mengarahkan beliau untuk duduk ditempat yang diduduki oleh dia sebelumnya.

Doni Kusuma. A, sebagai salah-seorang penggiat pendidikan karakter, setidaknya telah merumuskan pendidikan karakter kedalam 12 pilar utama. Salah-satu diantaranya ialah, integritas moral. Penghargaan terhadap sesama, menjunjung nilai luhur, mendahulukan penegakan kejujuran dan keadilan merupakan bagian dari integritas moral tersebut, dan merupakan tujuan pokok dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter berupaya menciptakan manusia bermoral dan berkemajuan. Gambaran kisah bus diatas merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita semua. Kisah bus diatas telah memberikan sebuah refleksi tersendiri bahwa selama ini pendidikan kita nyatanya hanya mengutamakan bagaimana menghasilkan manusia dengan nilai jual tinggi tapi minim moral.  

Tanpa menafikan betapa indah budi siswa Indonesia lainnya, dan guru-guru dengan dedikasi tinggi terhadap pendidikan. Harus kita akui pula ada beberapa hal mengganjal pada kasus-kasus remeh yang menampar karakter ideal siswa, terlihat betapa calon pemimpin bangsa kita tidak bisa berempati terhadap kesusahan oranglain. Manusia tidak akan dianggap sebagai manusia jikalau tingkat empatinya cenderung minim. Bagaimana mungkin jikalau kita terus membiarkan keadaan ini bertahan lama. Mungkin tidak bisa dibayangkan bagaimana kedepannya pemimpin bangsa kita ini.

Tawuran sesama pelajar juga sungguh disayangkan, kapan mencari ilmunya jika yang dipikirkan hanya fanatisme geng sekolah. Akhirnya mau tidak mau kita harus beralih pada alasan klasik, yakni guru. Dalam hal apapun guru merupakan pionir pendidikan. Segala macam refleksi guru, tingkah laku guru, metode pembelajaran guru, akan sangat menentukan kualitas dari anak didik atau siswa.

Ketika mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersosial, bertoleransi, dan hormat-menghormati didalam kelas, tidak jarang selesai mengajar guru selalu bertanya, “ada yang kurang paham?”. Mungkin agak jarang guru yang menutup sesi ceramah dengan berkata, “nah jadi inilah perbedaan antara siswa yang sudah memahami dan belum..”. hal inilah yang menurut John Holt menjadi titik kegagalan guru. Siswa tidak boleh disalahkan atas apa yang seharusnya mereka ketahui tapi pada kenyataannya tidak mereka ketahui.

Menurut Jhon Holt siswa bukan tidak bisa bertanya, tapi mereka rata-rata belum paham mana yang sudah dikategorikan memahami materi dan mana yang belum memahami materi. Makanya jangan heran, siswa dijejali matapelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan setumpuk banyaknya, tapi begitu masuk pada dunia nyata, seakan jauh panggang diatas api.

Siswa kurang diajarkan untuk kritis, sebagai bagian dari pendidikan karakter. Jika ada siswa yang menegur guru untuk tidak merokok didalam kelas, guru biasanya tersinggung bukannya bahagia. Kemudian ada juga siswa yang berani mengajak gurunya untuk berkelahi, ini sebenarnya bagaimana?. Siswa yang berani mengajak guru berkelahi, tentu punya latar belakang mengapa bisa seperti itu. Cara terakhir mengakhiri ‘kenakalan’ siswa adalah dengan mengeluarkannya, karena dicap meresahkan warga sekolah. Ujung-ujungnya cap meresahkan warga sekolah secara tidak langsung akan jadi label kepribadian yang jika salah direnungkan akan berubah menjadi konsep diri sendiri. 

Integritas dalam pribadi siswa tidak terbentuk instan melalui bacaan ataupun ceramah guru. Mereka perlu teladan disekolah, entah itu dari satpam sekolah, pedagang sekolah dan guru. Jika tidak, maka mereka (para siswa) akan mencari sosok idola lewat artis, publik figur, rekan sejawat, dll. Beruntung jika ternyata pihak luar lingkungan sekolah formal itu bisa memberikan teladan yang baik. Tapi tentu dengan fakta-fakta yang ada, ternyata kita tidak bisa berharap banyak. Mau tidak mau guru harus tetap berusaha mengembangkan metode pengajaran yang holistik baik itu dalam sisi konten materi ataupun sejalan dengan perilaku guru. 

Tidak ada manusia yang ingin belajar dari seorang guru yang tidak menjalankan apa yang telah diucapkannya. Siswa untuk sementara waktu harus dipaksa mengidolakan para guru terkasihnya demi pencapaian tujuan dari pendidikan karakter. Guru harus siap pasang badan dan hati seikhlas-ikhlasnya untuk siswa. Guru harus memberikan contoh bahwa setiap masalah tidak selesai dengan kekerasan. Semisal jika ada siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tidak perlu untuk dijewer, bagi siswa ini bentuk “penyiksaan” yang menakutkan dan berpotensi untuk mengarahkan siswa kepada kesimpulan bahwa kita boleh menggunakan kekerasan.

Akhir kata, memang ini bagian dari upaya kita untuk menghasilkan pribadi-pribadi tangguh yang kelak akan memimpin bangsa bersama kepekaan hati dan kecakapan intelektual tinggi. Siswa, guru dan pendidikan karakter adalah realitas pendidikan Indonesia saat ini. Dewasanya dalam melihat perkembangan ataupun keadaan wajah pendidikan di Indonesia saat ini, ketiga kata ini akan jadi perhatian utama, maka ini mengisyaratkan bahwa peningkatan mutu pendidikan Indonesia harus kembali pada visi dan nilai filosofis tiga kata tersebut, yakni siswa sebagai subjek yang butuh ilmu dan nilai kesalehan, guru sebagai pembimbing moral, dan pendidikan karakter sebagai upaya pencerdasan menuju bangsa yang bermartabat. Oleh karenanya tidak ada maksud apapun untuk mengatakan bahwa pendidikan kita bobrok, selama ketiga kata ini dipadukan dalam pendidikan sebagai proses.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib

Komentar Yuk..