Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
Suatu ketika didalam bus angkutan
umum, beberapa siswa SMA duduk berjejeran, bersama dengan penumpang lainnya.
Hingga berhentilah bus tersebut disalah satu shelter pemberhentian, dan masuk nenek
renta kedalam bus, dengan sedikit tertatih-tatih beliau masuk kedalam bus
berusaha mencari tempat duduk. namun sayangnya, semua tempat duduk sudah
terisi. Dengan helaan nafas kecapekan, beliau terpaksa mencoba meraih pegangan
tangan diatap bus, tidak terlihat satupun dari barisan siswa SMA tersebut
berdiri dan mempersilahkan beliau untuk duduk. Pandangan para siswa tersebut
acuh, dan seakan tidak mau tahu. Melihat beliau kesulitan, seorang wanita
kantoran cepat berespon dan merangkul si nenek tersebut dan mengarahkan beliau untuk
duduk ditempat yang diduduki oleh dia sebelumnya.
Doni Kusuma. A, sebagai salah-seorang
penggiat pendidikan karakter, setidaknya telah merumuskan pendidikan karakter
kedalam 12 pilar utama. Salah-satu diantaranya ialah, integritas moral.
Penghargaan terhadap sesama, menjunjung nilai luhur, mendahulukan penegakan
kejujuran dan keadilan merupakan bagian dari integritas moral tersebut, dan
merupakan tujuan pokok dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter berupaya
menciptakan manusia bermoral dan berkemajuan. Gambaran kisah bus diatas
merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita semua. Kisah bus diatas telah
memberikan sebuah refleksi tersendiri bahwa selama ini pendidikan kita nyatanya
hanya mengutamakan bagaimana menghasilkan manusia dengan nilai jual tinggi tapi
minim moral.
Tanpa menafikan betapa indah budi
siswa Indonesia lainnya, dan guru-guru dengan dedikasi tinggi terhadap
pendidikan. Harus kita akui pula ada beberapa hal mengganjal pada kasus-kasus
remeh yang menampar karakter ideal siswa, terlihat betapa calon pemimpin bangsa
kita tidak bisa berempati terhadap kesusahan oranglain. Manusia tidak akan
dianggap sebagai manusia jikalau tingkat empatinya cenderung minim. Bagaimana
mungkin jikalau kita terus membiarkan keadaan ini bertahan lama. Mungkin tidak
bisa dibayangkan bagaimana kedepannya pemimpin bangsa kita ini.
Tawuran sesama pelajar juga sungguh
disayangkan, kapan mencari ilmunya jika yang dipikirkan hanya fanatisme geng
sekolah. Akhirnya mau tidak mau kita harus beralih pada alasan klasik, yakni
guru. Dalam hal apapun guru merupakan pionir pendidikan. Segala macam refleksi
guru, tingkah laku guru, metode pembelajaran guru, akan sangat menentukan
kualitas dari anak didik atau siswa.
Ketika mengajarkan nilai-nilai kehidupan
bersosial, bertoleransi, dan hormat-menghormati didalam kelas, tidak jarang
selesai mengajar guru selalu bertanya, “ada yang kurang paham?”. Mungkin agak
jarang guru yang menutup sesi ceramah dengan berkata, “nah jadi inilah
perbedaan antara siswa yang sudah memahami dan belum..”. hal inilah yang
menurut John Holt menjadi titik kegagalan guru. Siswa tidak boleh disalahkan
atas apa yang seharusnya mereka ketahui tapi pada kenyataannya tidak mereka
ketahui.
Menurut Jhon Holt siswa bukan tidak
bisa bertanya, tapi mereka rata-rata belum paham mana yang sudah dikategorikan
memahami materi dan mana yang belum memahami materi. Makanya jangan heran,
siswa dijejali matapelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan setumpuk
banyaknya, tapi begitu masuk pada dunia nyata, seakan jauh panggang diatas api.
Siswa kurang diajarkan untuk kritis,
sebagai bagian dari pendidikan karakter. Jika ada siswa yang menegur guru untuk
tidak merokok didalam kelas, guru biasanya tersinggung bukannya bahagia.
Kemudian ada juga siswa yang berani mengajak gurunya untuk berkelahi, ini
sebenarnya bagaimana?. Siswa yang berani mengajak guru berkelahi, tentu punya
latar belakang mengapa bisa seperti itu. Cara terakhir mengakhiri ‘kenakalan’
siswa adalah dengan mengeluarkannya, karena dicap meresahkan warga sekolah.
Ujung-ujungnya cap meresahkan warga sekolah secara tidak langsung akan jadi
label kepribadian yang jika salah direnungkan akan berubah menjadi konsep diri
sendiri.
Integritas dalam pribadi siswa tidak
terbentuk instan melalui bacaan ataupun ceramah guru. Mereka perlu teladan
disekolah, entah itu dari satpam sekolah, pedagang sekolah dan guru. Jika
tidak, maka mereka (para siswa) akan mencari sosok idola lewat artis, publik
figur, rekan sejawat, dll. Beruntung jika ternyata pihak luar lingkungan
sekolah formal itu bisa memberikan teladan yang baik. Tapi tentu dengan
fakta-fakta yang ada, ternyata kita tidak bisa berharap banyak. Mau tidak mau
guru harus tetap berusaha mengembangkan metode pengajaran yang holistik baik
itu dalam sisi konten materi ataupun sejalan dengan perilaku guru.
Tidak ada manusia yang ingin belajar
dari seorang guru yang tidak menjalankan apa yang telah diucapkannya. Siswa
untuk sementara waktu harus dipaksa mengidolakan para guru terkasihnya demi
pencapaian tujuan dari pendidikan karakter. Guru harus siap pasang badan dan
hati seikhlas-ikhlasnya untuk siswa. Guru harus memberikan contoh bahwa setiap
masalah tidak selesai dengan kekerasan. Semisal jika ada siswa yang tidak
mengerjakan pekerjaan rumah, tidak perlu untuk dijewer, bagi siswa ini bentuk
“penyiksaan” yang menakutkan dan berpotensi untuk mengarahkan siswa kepada
kesimpulan bahwa kita boleh menggunakan
kekerasan.
Akhir kata, memang ini bagian dari
upaya kita untuk menghasilkan pribadi-pribadi tangguh yang kelak akan memimpin
bangsa bersama kepekaan hati dan kecakapan intelektual tinggi. Siswa, guru dan
pendidikan karakter adalah realitas pendidikan Indonesia saat ini. Dewasanya
dalam melihat perkembangan ataupun keadaan wajah pendidikan di Indonesia saat
ini, ketiga kata ini akan jadi perhatian utama, maka ini mengisyaratkan bahwa
peningkatan mutu pendidikan Indonesia harus kembali pada visi dan nilai
filosofis tiga kata tersebut, yakni siswa sebagai subjek yang butuh ilmu dan
nilai kesalehan, guru sebagai pembimbing moral, dan pendidikan karakter sebagai
upaya pencerdasan menuju bangsa yang bermartabat. Oleh karenanya tidak ada
maksud apapun untuk mengatakan bahwa pendidikan kita bobrok, selama ketiga kata
ini dipadukan dalam pendidikan sebagai proses.
Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah
Wa Fathun Qorib