Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Bem-J BKI menerbitkan Buletin tri Bulanan, KONSISTEN

Jumat, 29 Juni 2012

Tingkatkan Mutu Mahasiswa, Jurusan BKI adakan Kegiatan


Jurusan Bimbingan & Konseling Islam (BKI) yang berdiri Sejak tahun 1976, perlu memantapkan lagi eksistensinya bagi pengembangan keilmuannya kedepan. Dari segi kualitas, dalam satu tahun terakhir ini Jurusan BKI sedikit mengalami penurunan. Salah-satu indikator penurunan kualitas tersebut bisa terbaca pada Akreditasi jurusan BKI yang menurun dari “A” menjadi “B”. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi segenap Civitas Akademika Jurusan BKI untuk kembali memajukan BKI.

Selain itu, salah-satu dari lima arah pengembangan UIN Sunan Kalijaga adalah Intellectual and Academic Capacity Building (Pembinaan Kapasitas Intelektual dan Akademik). Arah pengembangan ini mengisyaratkan harus adanya upaya dan usaha untuk membina para mahasiswa dalam mengembangkan kapasitas intelektual dan akademiknya. Maka tidak terelakkan lagi usaha untuk mengembangkan BKI menjadi hal yang urgen saat ini.

Secara keilmuan, BKI masih perlu banyak didalami dan diramaikan lagi melalui usaha-usaha para mahasiswanya. Maka secara otomatis ini menyangkut tentang bagaimana mempersiapkan mereka menjadi lebih berkompetensi. Meningkatnya kualitas mahasiswa akan berdampak baik bagi pengembangan keilmuan BKI. Kompetensi teoritis dan lapangan mau tidak mau pasti mendapatkan porsi utama dari usaha-usaha ini.

Kebijakan Mutu UIN Sunan Kalijaga mengamanatkan setiap Jurusan untuk mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi, dengan menginstruksikan keterlibatan mahasiswa dalam pengabdian, pengajaran, dan penelitian serta bersama-bersama membangun masyarakat. Akan tetapi sebelum bisa terjun kedalam cakupan wilayah yang lebih luas, para mahasiswa ini harus melewati sekelumit jalan untuk meningkatkan pemahaman teoritis dan prakteknya.

Mengembangkan kompetensi mahasiswa Jurusan BKI dapat ditempuh dengan mempersiapkan mereka, untuk mampu melakukan aktifitas-aktifitas profesional konselor. Ada dua aktiftas profesional konselor yang harus dikuasai, yakni Konseling Individual dan Bimbingan Kelompok. Kedua aktifitas ini merupakan kegiatan paling umum dari aktifitas profesional konselor. Maka diperlukan kegiatan yang nantinya diharapkan bisa turut berperan dalam pengembangan kompetensi mahasiswa pada dua aktifitas profesional ini.

Oleh karenanya, 28 Juni 2008, bertempat di Gedung Pusat Pengembangan Tekonologi Dakwah (PPTD) UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN SUKA mengadakan kegiatan yang bertemakan “Peningkatan Mutu Mahasiswa BKI Melalui Bimbingan Aktifitas Profesional Konselor”. 

Kegiatan sehari penuh ini mengundang Shinta, S.Pd.,M.Si.,M.A.,C.NLP,  seorang Psikolog Lembaga "Bunda Cinta" sebagai Narasumber. peserta yang mendaftar dalam kegiatan ini sebanyak 40 mahasiswa BKI yang terdiri dari 10 mahasiswa angkatan 2009, 10 mahasiswa angkatan 2010, dan 20 mahasiswa angkatan 2011.

"Dari total 40 mahasiswa pendaftar kegiatan ini, ada sebanyak 8 mahasiswa yang tidak  menghadiri kegiatan". kata salah satu panitia kegiatan.

kegiatan ini dibagi menjadi dua sesi, pertama  seminar Teori dengan judul Model-Model & Tahap-Tahap Pelaksanaan Konseling Individual” serta materi “Bagaimana Melaksanakan Bimbingan Kelompok?”. sedangkan sesi keduanya adalah praktek Konseling Individual dan Bimbingan Kelompok.

selain karena ingin meningkatkan mutu mahasiswa BKI, kegiatan ini juga dilaksanakan dalam rangka pengambilan materi yang nantinya akan menjadi sumber dari Profil Jurusan BKI. 

Jumat, 15 Juni 2012

BKI UIN Yogyakarta Hadiri RAKERNAS IMABKIN III

Laporan Oleh : Rina Mulyani, Peserta Seminar International, Wakil Bendahara Bem-J BKI  


Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Ikatan Mahasiswa Bimbingan Konseling Indonesia (IMABKIN) III berlangsung sejak tanggal 6 -10 Juni 2012 di Universitas Riau (UNRI). Rakernas III dihadiri oleh delegasi mahasiswa BK dari 15 Universitas seluruh Indonesia dengan jumlah peserta sebanyak 120 Mahasiswa. Dalam pembukaan ceremonial ketua panitia Muhammad Firman mengungkapkan Raker dengan total peserta tersebut merupakan kali pertama selama IMABKIN berdiri. Sehingga harapannya antusias yang luar biasa itu menjadi awal dan bekal untuk lebih mengikat silaturhmi dan semangat kekeluargaan mahasiswa BK lebih erat lagi. Raker yang mengangkat tema “Meningkatkan eksistensi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling di Era Global” menjadi agenda penting dalam wadah IMABKIN yang berada di bawah naungan ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia).

Syahril Ramadhani ketua terpilih dalam kongres ke III di Makassar juga menyampaikan apresiasi yang luar biasa atas semangat peserta yang hadir dalam acara tersebut. IMABKIN telah berdiri dengan legalitas yang jelas, konstitusi yang diakui, maka tinggal memupuk semua modal itu untuk lebih di akui di tengah persaingan khalayak. Ketua terpilih juga menyampaikan bahwa IMABKIN akan merangkul semua mahasiswa BK yang belum tergabung di dalamnya dan akan menjadi organisasi yang bisa menjadi penyalur aspirasi demi masa depan BK yang lebih optimal



Sidang Pertama Raker Diwarnai Ricuh
Raker dibagi dalam VI sidang. Sidang pertama :Pembahasan dan penetapan susunan acara sidang telah usai, dilanjut dengan sidang ke II : Pembahasan dan Penetapan Tata Tertib Sidang, belum berakhir sidang kedua ini tiba-tiba datang sekomplot mahasiswa UIN SUSKA (Sultan Syarif Kasim) yang memaksa panitia untuk masuk ke dalam forum. Mereka berhasil masuk dan memohon izin kepada pimpinan sidang untuk menyampaikan beberapa hal. Di duga sebelumnya komplotan tersebut sudah bermasalah dengan pihak panitia karena ketika itu pimpinan sidang memberikan mereka izin bicara. Dengan nada emosi mereka sampaikan  kekurangan panitia, tuduhan kepada panitia yang tidak serius menjalankan rakernas, tidak serius dalam menjalankan kegiatan karena BK UIN SUSKA  yang tempatnya berdekatan tidak mendapat undangan. UIN SUSKa merasa tidak diakui dan sederet tuntutan yang dilontarkan kepada pihak panitia serta pengurus pusat IMABKIN. Perdebatan berlangsung selama 1,5 jam yang tidak kunjung menemukan ending. Akhirnya peserta perwakilan dari Ambon vigil , meminta pihak UIN SUSKA, Panitia dan pengurus pusat IMABKIN untuk menyelesaikan permaslahan mereka di luar forum dan peserta memilih untuk tidak campur tangan, karena masalah ini adalah masalah internal mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan peserta. Sidang akhirnya di pending sampai batas waktu yang tidak di tentukan.
Pukul 22.00 WIB kondisi sudah sedikit redam, akhirnya sidang dilanjutkan beberapa jam, karena waktu dan kondisi yang tidak mungkin dilanjutkan, maka sidang dipending untuk yang kedua kalinya hingga pagi hari.


Pembahasan Eksklusif BKI Dalam Sidang Ke V



Tepat pukul 07.30 WIB sidang kembali dibuka, sidang I,II,III,IV,dan V masing-masing telah berakhir. Sampailah pembahasan pada sidang ke VI yakni tentang “Pembahasan dan Penetapan Terkait BKI dalam IMABKIN”. Dalam rakernas keseluruhan delegasi kampus berasal dari kampus umum dan hanya ada lima yang berasal dari perguruan tinggi Agama Islam. Argumen dari peserta semuanya ditampung peserta sidang. Beberapa argument itu jika dikerucutkan ada dua point :
  1. Peserta menghendaki IMABKIN menaungi seluruh kampus yang memiliki jurusan bimbingan dan konseling
  2. Peserta menghendaki IMABKIN menaungi seluruh BK yang hanya berada dalam wilayah kependidikan
Namun, keputusan akhirnya didapatkan yakni forum menghendaki pilihan no.2 bahwa IMABKIN hanya menaungi BK dari seluruh kampus di Indonesia yang berada dalam wilayah pendidikan(BK Pendidikan). Hal tersebut didasarkan pada keputusan mufakat sebelumnya dengan lembaga yang berada di atas organisasi tersebut yakni ABKIN. Kampus-kampus islam bisa menjadi anggota dari IMABKIN jika berada di bawah naungan fakultas tarbiyah. Final sudah di dapat seluruh hasil sidang dibacakan dan ketok palu ketua sidang mengakhiri rakernas IMABKIN III tersebut.



Seminar Internasional BK Hadirkan Pakar Konseling Malaysia


Laporan Oleh : Rina Mulyani, Peserta Seminar International, Wakil Bendahara Bem-J BKI 

9 Juni 2012 IMABKIN (Ikatan Bimbingan Konseling Indonesia) bertempat di Balai Adat, Pekanbaru, Riau, mengadakan seminar internasional yang dihadiri oleh peserta dari berbagai elemen. Diantaranya berasal dari perwakilan guru-guru BK se Provinsi Sumatra, dosen-dosen BK, serta mahasiswa Bimbingan dan Konseling dari seluruh Indonesia, baik PTN (Perguruan Tinggi Negeri), PTS (Perguruan Tinggi Swasta) maupun PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) Negeri dan Swasta.

            Seminar tersebut terselenggara atas kerja sama HIMA BIKONS ( Himpunan Mahasiswa Bimbingan dan Konseling) Universitas Riau dengan IMABKIN serta ABKIN (Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia) dengan menghadirkan empat pembicara:

  1. Prof.Madya Dr. Salleh Amat (Dosen BK Universitas Kebangsaan Malaysia)
  2. Prof. Prayetno MSc.E.d (Guru Besar BK Universitas Negeri Padang)
  3. Prof.Dr. Syamsu Yusuf L.N (Kaprodi BK Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung)
  4. Dr. Widyo Winarso (Kemendikbud RI, Jakarta)




Seminar tersebut dimulai pukul 08.10 WIB dan berakhir pada pukul 14.50 WIB. Acara terbagi dalam dua sesi. Sebelum masuk dalam pembahasan peserta dihibur dengan tarian adat yang ditampilkan oleh mahasiswa BK UNRI, sambutan oleh ketua panitia yang diwakili oleh Muhammad Subhan mahasiswa BK UNRI, sambutan Ketua IMABKIN Pusat oleh Syahril Ramadhani mahasiswa BK UPI Bandung, dan sambutan ketiga oleh KAPRODI BK UNRI Drs. Abu Asy’ari M.Pd. Kons.



Masuk pada Sesi yang pertama diisi oleh dua pembicara yakni Prof. Madya Dr.Salleh Amat dan Prof. Dr.Syamsu Yusuf L.N.  Dalam makalah Prof. Salleh menyampaikan beberapa hal penting tentang konseling yakni tentang hal dasar yang mutlak dimiliki oleh guru BK.



  Selain kepribadian, contoh, serta teladan yang baik, konselor juga harus “terlatih”. BK memiliki peran yang begitu urgen dalam membentuk peradaban Bangsa terutama melalui jalur pendidikan. Tidak hanya membantu siswa dengan segudang masalahnya namun juga membantu siswa dalam semua bidang di sekolahnya.

Lanjutan penuturanya menyatakan bahwa Konseling telah berkembang di Malaysia sejak tahun 1960an. Perkembangan ini semakin diperhatikan  pemerintah Malaysia mengingat peran konselor sendiri yang dirasa begitu penting. Kompetensi ini tidak akan berkembang jika dimaksimalkan dalam hal materi saja, namun juga ditekankan dalam hal praktik/latihan intensif. Proses mencapai professional ini ditempuh melalui proses yang dilalui dengan melalui beberapa step. Sebagai contoh di Malaysia telah terbentuk CACREP (Counsil for Accreditation of Counseling and Related Educational Program) melalui IRCEP (The International Registry of Conselor Educational Program. Program pelatihan ini dilakukan di luar konseling yang dicetuskan oleh induk lahirnya konseling yakni dari Amerika. Faktor dibentuknya program ini karena beberapa rumusan Amerika yang tidak bisa diterapkan untuk seluruh dunia. Namun IRCEP tetap membentuk standart kurikulum yang hampir sama untuk membentuk konselor yang kompeten dan dipakai di seluruh dunia.

Dibagian akhir pemaparan Prof. Salleh menyampaikan appreciate yang luar biasa dengan perkembangan konseling di Indonesia. Sehingga dengan pertemuan dalam forum ini akan merekatkan silaturrahmi kedua Negara dengan menjalin kerja sama lebih intens di bidang konseling. Kemudian, harapan besar untuk seluruh konselor mampu memberikan kontribusinya membangun peradaban dunia  melalui berbagai lini dapat terwujud.

Pembicara ke II, Prof. Dr. Syamsu Yusuf L.N dengan judul materi “Peran Konselor Dalam Pendidikan Karakter di Era GLobalisasi”, membuka materinya dengan menyampaikan sebuah dalil yang dikutip dari (Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam ahmad ) Innama bu’isttu liutammima makaarimal akhlaq. Menurut Prof. Syamsu ini adalah amanah wajib yang menjadi landasan dasar konselor dalam menjalankan profesinya yakni memperbaiki akhlak. Remaja dan generasi muda yang seharusnya menjadi agen pembaharu untuk memperbaiki Bangsa yang semakin terjebak dengan perilakuk-perilaku amoral. Sejumlah kasus yang menimpa anak negeri menjadi perhatian serius bagi kalangan konselor. Kenakalan remaja, narkotika, free sex,,HIV/AIDS, prostitusi dikalangan para siswi, tindak kekerasan, kriminal, dan segudang data baik yang berhasil disorot media maupun yang tidak menjadi keprihatinan khusus para pendidik, orang tua dan khususnya konselor yang selama ini telah jelas bidang garapannya yakni pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan non formal.

Materi berlanjut dengan antusias para peserta yang semakin tinggi. “Membangun karakter” lanjut pemateri, menjadi harga mati yang wajib dicanangkan oleh konselor. Strategi yang dilakukan bisa dilakukan dalam lima garis besar : 1) Penciptaan iklim religius, penataan sosio, emosional, dan kultur akademik. 2) Terpadu dalam Proses belajar mengajar. 3) Terpadu dalam program ektrakurikuler. 4) Terpadu dalam Program bimbingan dan konseling, dan yang ke 5) Bekerja sama dengan pihak lain. Sedangkan pendidikan karakter melalui bimbingan dan konseling yakni melalui empat layanan. 1) Pribadi :Keimanan dan ketaqwaan, konsep diri, rasa percaya diri, sikap optimis. 2) Bidang social : toleransi, empati, solidaritas. 3. Belajar : meyakini belajar sebagai suatu ibadah, memiliki sikap belajar sepanjang hayat,  memiliki achievement motive.4) Karir  :Meyakini bekerja sebgaai ibadah, memahami kemampuan diri, 3) Memahami dunia kerja, memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, dan dapat bekerjasama. Demkian beberapa point yang digambarkan Prof. Syamsu untuk membangun karakter peserta didik melalui tangan-tangan konselor. Secara garis besar peran konselor menciptakan generasi muda yang berkarakter sangat diharapkan.

Sesi ke II, Prof. Dr. Prayitno




Setelah acara diskors untuk istirahat dan jam makan siang, seminar kemudian berlanjut di sesi yang kedua. Dalam hal ini Prof. Prayit memiliki kesempatan pertama menyampaikan materi. Hal pertama yang disinggung Prof.Prayit ialah terkait dengan profesi konselor. Konselor ialah seorang pendidik, yang telah jelas hal ini termaktub dalam UU No 20/2003 pasal 1 butir 6:

“Pendidik ialah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. Melalui profesi pendidik konselor harus profesional. Dalam hal ini Prof. Prayit memaparkan lebih dalam terkait dengan bagaiamana dan apa yang harus dilalui calon-calon konselor untuk bisa mendapatkan profesi konselor ini? Yakni digambarkan dalam sebuah segitiga yang disebut dengan



Tiga komponen ini meliputi

  1. Dasar Keilmuan          : Ilmu Pendidikan
  2. Substansi Profesi       : Belajar dan pembelajaran dan substansi pendidikan
  3. Praktik Profesi            : Praktik profesi dengan substansi pendidikan



Ini menjadi ruh seorang konselor yang bergerak dalam bidan pendidikan. Permendiknas telah mengatur dalam UU No 27/2008 tentang standart kualifikasi dan kompetensi konselor (SKAKK) bahwa :

Konselor           : S1BK+ PPK
Kompetensi     : 17 kompetensi inti

Maka, menjadi syarat mutlak calon-calon konselor yang sekarang menempuh proses pendidikannya di strata satu untuk melanjutkan program profesi setelah masa studi selesai. Semua itu dilakukan agar terbentuk konselor-konselor yang memiliki kualifikasi khusus, professional dalam menjalankan profesinya karena sudah terlatih secara terampil.

Selama ini  image konselor   sekolah masih dianggap sebagai polisi sekolah karena memang orang-orang di dalamnya yang memegang peranan tidak berasal dari latar pendidikan BK. Untuk memperbaiki citra, tentu langkah demikian ini yang harusnya digalakkkan. Jika tahun-tahun lalu masih banyak toleransi di sana-sini, orang- orang dengan latar pendidikan non BK bisa mengambil profesi BK, maka tahun-tahun mendatang hal ini akan menjadi larangan keras. Terpilihnya konselor harus melalui seleksi yang ketat, ungkap Prof Prayit dengan nada penuh energik.

Dengan santun, hangat dan semangat Prof.Prayit meletakkan harapan besar kepada generasi pegubah bangsa ini agar benar-benar memperhatikan hal ini, demi menempatkan profesi konselor sesuai dengan porsi dan bagian masing-masing. Membangun citra konselor di dunia pendidikan menjadi lebih baik. Kriteria Sekolah yang baik  ialah siswanya tidak perlu bimbel di luar lembaga dan sekolah tersebut siswanya tidak pernah dikeluarkan, karena sudah ada konselor di sekolah tersebut yang akan menjadi mediator utama melayani apa yang dibutuhkan siswa, lalu bagaimana caranya? Sebelum mengembalikan kepada moderator Prof. Prayit menambahakan “yakni dengan BM3 : Berikir, merasa, bersikap, bertindak, dan bertanggungjawab



Dr. Widyo Winarso (Kemendikbud RI) 




Pemateri berikutnya ialah Dr. Widyo Winarso menyampaikan materi yang terkait erat dengan pendidikan multikultural. Peran konselor juga sangat urgen di dalamnya. Beliau menuturkan bahwa Indonesia dengan berjuta keragaman yang dimiliki memerlukan kesadaran yang tinggi dari semua elemen untuk menjaga keragaman ynag begitu luar biasa ini. Keragaman dari berbagai segi ini merupakan kekayaan yang tak dapat dihitung dalam jumlah nominal. Penggerogotan dari banyak pihak sedang gencar dilakukan, sehingga memerlukan kekuatan untuk tetap bertahan menjaga. Konselor hendaknya memainkan perannya menerapkan pendidikan multikultural. Pendidikan yang tidak memihak, pendidikan yang mengutamakan kepentingan bersama, tidak ada diskriminasi antar sesama, dan memberikan hak serupa dalam semua kesempatan, yang harapannya kemudian konselor mampu menghasilkan insan yang cerdas secara komprehensif.

Seminar berlangsung dengan begitu hikmat. Penataan dibanyak bidang digalakkan untuk mempertegas eksistensi konselor agar tebentuk konselor-konselor terlatih dan mampu memberikan kontribusi untuk Bangsa dan Negara menjadi kesimpulan moderator yang kemudian menutup acara sekitar pukul 15.25 WIB.

  

Selasa, 12 Juni 2012

SOCIAL LOAFING : Kemalasan Social

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah


“Mengapa dalam Kelompok yang lebih besar cenderung menghasilkan kinerja yang kurang maksimal?”

“Maka dalam organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah penggembira.”

Pernahkah bertanya, Mengapa seringkali saat mendorong mobil secara berkelompok tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap berkurangnya beban mobil?, dan Mengapa beberapa orang malah seringkali tertangkap basah tidak bersungguh-sungguh mendorong mobilnya?. Fenomena ini biasa disebut sebagai Social Loafing. Social Loafing dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kemalasan Sosial, atau Penyandaran Sosial. Selain itu,  Social Loafing sendiri lebih dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George, 1992, dalam Liden, dkk, 2004).

Menurut Reber & Reber (2010) Social Loafing adalah kecenderungan individu mereduksi upaya yang mereka lakukan terhadap sejumlah tugas ketika bekerja bersama dengan orang lain. Dan dalam website resmi Psycholoy.About.com, disebutkan Social Loafing adalah “..the tendency of individuals to put forth less effort when they are part of a group.”. Williams & Karau (1993) mengatakan bahwa Social Loafing adalah “..the reduction in motivation and effort when individuals work collectively compared with when they work individually or coactively.” Dengan beberapa hal diatas bisa dijelaskan (mengikuti Williams & Karau) Social Loafing adalah reduksi atas motivasi maupun usaha yang terjadi ketika individu bekerja secara bersama-sama ketimbang secara sendirian.

Linden, dkk (2004) menyebutkan ada beberapa istilah yang bisa menjadi penjelasan untuk mengawali pembahasan mengenai Social Loafing, yakni ;  Lack of identification of individual contributions to the group (Williams dkk, 1981); lack of challenge and uniqueness of individual contribution (Harkins & Petty, 1982); low intrinsic involvement (Brickner, Harkins& Ostrom, 1986; George, 1992); individualistic orientation (Wagner, 1995); low group cohesiveness (Karau & Williams, 1997); lack of peer appraisals (Druskat & Wolff, 1999). motivational (George, 1992; Sheppard, 1993; Wagner, 1995). Namun dalam tulisan ini akan disinggung beberapa saja.

Social Loafing terjadi karena motivasi yang hilang akibat dari proses evaluasi dan eliminasi mengenai kontribusi anggota dalam kelompok (Harkins, 1987; Harkins & Szymanski, 1989; Kerr & Bruun, 1983, dalam Williams & Karrau, 1991). Dalam kesebelasan sepakbola, seorang kiper yang tidak serius menjaga gawangnya sehingga menghasilkan banyak kebobolan seringkali menyebabkan pemain bertahan dan pemain menyerang menjadi tidak bersemangat dalam membangun pertahanan dan penyerangan. Kira-kira begitulah ilustrasi yang dimaksud dari teori pertama mengenai Social Loafing. saat seorang anggota menyadari bahwa lima dari tujuh partnernya didalam kelompok tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, dan kemudian dia menjadi ikut-ikutan untuk tidak terlalu memperdulikan gairah mengerjakan tugas maka terjadilah Social Loafing.

Apa kira-kira yang akan dirasakan oleh seseorang saat mengetahui bahwa ia mendapatkan bayaran  yang sama dengan koleganya padahal ia sendiri mengerjakan tugas yang jauh lebih rumit daripada koleganya tersebut?. Jika yang muncul adalah kehilangan motivasi dalam bekerja dalam satu instansi akibat persoalan ini maka, Social Loafing telah terjadi (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986, dalam Williams & Karrau, 1991). Rasa malas bekerja dalam satu tim, dan bekerja seadanya saja tanpa bertindak yang lebih progresif, bisa jadi karena alasan ini. Dalam beberapa situasi penulis sangat merasakan hal ini. Beberapa dosen atau petugas fakultas mungkin sangat bergebu-gebu dalam menjalankan tugasnya. Bahkan jika ada tugas yang tidak sempat ia kerjakan, penyesalan akan selalu menghantuinya. Tapi berbeda dengan segelintir lainnya, yang tidak terlalu memperdulikan itu semua.

Social Loafing kadang-kadang juga muncul karena bawaan asumsi yang keliru. Beberapa anggota kelompok yang malas mengerjakan tugasnya bisa jadi karena pengaruh asumsi subjektif buruk mereka terhadap anggota lain. Misalkan si A menilai bahwa si B pasti tidak akan serius mengerjakan tugas, maka si A akan jadi terbawa malas mengerjakan tugas karena sadar dengan kecenderungan si B. Asusmi “Others in their Group Always Loafed” menjadi contoh dari sekian banyak asumsi yang muncul atas penilaian anggota kelompok mengenai kecenderungan peforma rekan sekelompoknya. Seorang teman pernah mengaku kepada penulis bahwa ia tidak akan pernah menyinggung waktu pembuatan tugas sebelum rekan satu kelompoknya yang mengawali. Alasannya karena ia sendiri trauma dengan sikap rekan-rekannya dalam satu kelompok yang cenderung seperti tidak memperdulikan tugas dan tidak mau berusaha. Disini terlihat bahwa asumsi juga ternyata bisa jadi merupakan bahan materi atas pengalaman sebelumnya. Maka benar jika kemudian Social Loafing dikaitkan dengan proses evaluatif seseorang atas apa yang bisa dikerjakan oleh rekan sekelompoknya berdasarkan pada pengalaman masa lalu.

Kejadian paling umum dari Social Loafing dalam kehidupan sehari-hari adalah saat dosen membagi kelas kedalam kelompok-kelompok presentasi. anggota kelompok yang cenderung untuk Social Loafing, bisa jadi karena dua hal; Pertama karena dalam satu kelompok semua adalah pemalas. Dan kedua karena dalam satu kelompok terdapat 1 atau 2 orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa harus melibatkan tenaga satu kelompok. Mendapatkan rekan pemalas dalam satu kelompok tidak bisa dibilang malapetaka, begitu juga sebaliknya. Dalam kasus ini ada variable-ketiga yang turut campur tangan, yakni Motivasi, Rutinitas diluar perkuliahan, Kepercayaan diri (mungkin pada lain tempat akan dijelaskan secara detil).

Penulis juga pernah mengalami secara langsung kasus dimana seorang rekan berkata “saya menjadi malas untuk bekerja dalam komunitas anda karena bagi saya komunitas anda cenderung lekat atau bahkan identik dengan nilai organisasi tertentu”. Tampaknya nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing anggota kelompok mempengaruhi Social Loafing. bila nilai-nilai yang dipegang berbeda maka bisa saja Social Loafing muncul. Setidaknya Social Loafing seperti pada fenomena psikologis lainnya tetap perlu dicermati secara kasuistik.

Social Loafing dan Kejengkelan atas Kinerja
Pada kenyataannya Social Loafing merupakan fenomena yang mungkin belum sempat diasosiasikan dengan term-term lain dalam tulisan ini. Tetapi perlu dipertegas kalau membahas mengenai Social Loafing, term-term seperti “kemalasan”, “kinerja”,  “tugas”, “produktifitas”, “kelompok”, “anggota”, “motivasi”, dlsb merupakan adonan wajib dalam tema ini.  Maka jangan bingung jika fenomena Social Loafing tiba-tiba dikontekskan kedalam term-term tersebut.

Tujuan pembuatan kelompok adalah untuk mempermudah menyelesaikan tugas. Namun akan sangat menjengkelkan jika terdapat beberapa anggota kelompok yang ternyata tidak ikut berpartisipasi dalam proses-proses kelompok. Maka dalam organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah penggembira. Mungkin tidak jadi masalah jika kelompok memiliki anggota malas, itu sudah biasa. Tetapi, lagi-lagi ini persoalannya tidak mudah. Saat anda dibayar untuk bekerja dalam satu kelompok, dan ada beberapa anggota yang malas anda akan dituntut, jika kinerja tidak maksimal.

Contoh sederhana lainnya, pernah anda melihat anggota DPR yang tertidur?. Apakah itu bisa disebut Social Loafing?. jawaban penulis adalah bisa!. DPR adalah kelompok dengan segala regulasinya mereka harus bekerja dalam satu komisi. Jika mengasumsikan anggota DPR yang tertidur dengan ketidakpedulian atas situasi yang sedang terjadi dan menyerahkan tanggungjawab kepada anggota lain, maka itulah Social Loafing. rekan satu kelompok yang tidak memiliki kepedulian dan tanggungjawab bisa disebut sebagai penderita Social Loafing.

Social Loafing adalah sebuah “Penyakit”
Social Loafing adalah Social Disorder, atau gangguan sosial. Social Loafing bukan lagi sekedar karena kecenderungan orientasi individualistik yang berlebihan melainkan pengabaian yang besar atas tanggungjawab dalam kelompok. Selain itu pelaku kemalasan Sosial merasa tidak bersalah meski ia sudah menyalahi regulasi-regulasi dalam kelompok. Salah-satu regulasi yang paling rasional menjadi alasan ketidaknormalan pelaku Social Loafing adalah masalah Reward.

Anggota kelompok yang benar-benar menjalankan tugas tetap saja mendapatkan reward yang sama dengan anggota kelompok lainnya yang malas. Tetapi harus disepakati dahulu bahwa Social Loafing harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikannya sebagai sebuah penyakit menjadi objektif.

Menurut penulis ada sejumlah besar karakteristik dari Social Loafing yang masuk pada kategori Penyakit:
  1. Pelaku Social Loafing menyadari betul bahwa ia memiliki tanggungjawab dalam kelompok tapi lebih memilih untuk mengabaikan dengan alasan yang tidak penting.
  2. Pelaku Social Loafing menyadari bahwa rekan sekelompoknya telah dan sedang berusaha keras menyelesaikan tugas kelompok.
  3. Pelaku Social Loafing tidak mampu berkontribusi dengan alternatif lain dalam bentuk apapun, semisal empati, simpati, pujian, dukungan moril, dlsb.


Berdasarkan pada karakteristik diatas, memang ada beberapa Social Loafing yang tidak masuk pada kategori ini. Oleh karenanya meninjau fenomena ini secara kasuistik merupakan pilihan terbaik.

Social Loafing, Kemalasan
Manusia memiliki potensi untuk menjadi pemalas, dalam konteks Social Loafing mereka tidak sekedar pemalas tapi lebih dari itu. Pengabaian yang luar biasa atas situasi kelompok menjadikan ini terlihat bukan sekedar pemalas. Pemalas kehilangan motivasi, pemalas kehilangan produktifitas.

________________________________
Daftar Pustaka

Robert C. Linden, dkk, Social Loafing: A Field Investigation, Journal of Management 2004 30(2) 285–304

Steven Karau, Kipling D. Williams, Social Loafing: A Meta-Analytic Review and Theoretical Integration, Journal of Personality and Social Psychology, 1993. Vol. 65. No. 4, 681-706

Steven Karau, Kipling D. Williams, Social Loafing and Social Compensation: The Effects of Expectations of Co-Worker Performance, Journal of Personality and Social Psychology 1991, Vol. 61, No. 4, 570-581

Komentar Yuk..