Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga(BEM-J BKI UIN SUKA)

Website BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga

Bem-J BKI menerbitkan Buletin tri Bulanan, KONSISTEN

Kamis, 29 Desember 2011

MIMBAR MAHASISWA ; ILMU DAN ETIKA

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah



Menimbang Kekuatan

Tidak bisa tidak kita nafikan kesadaran tertinggi manusia adalah bersifat kritis, sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Paulo Freire. Ungkapan kesadaran tertinggi ini mungkin sedikit berlebihan namun kenyataan yang terungkap lewat aktifitas demo mahasiswa cukup  menggambarkan bagaimana bisa saja asumsi ini terjadi. Sifat kritis memang pembuka siklus lompatan paradigma dan dipandang sebagai bentuk dasar pembeda eksistensi mahasiswa dan siswa, tapi apakah itu sepenuhnya benar?.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan demikian setidaknya kita perlu dasar sumber “hukum” materil meskipun akan lebih penting jika kita juga memakai sumber hukum formil. Secara materil, eksistensi mahasiswa memang terekam lewat peristiwa-peristiwa besar Negara. Hingga akhirnya mahasiswa mendapat predikat agent of change, sebuah diksi yang secara hitungan kasar sebenarnya tidak sepenuhnya juga absolute, salah seorang wartawan senior Repuplika dalam salah satu diskusi terbuka pernah mengungkapkan agent of change yang sebenarnya adalah masyarakat. Baru pada taraf seperti ini terjadi tarik ulur antara eksistensi dan kejelasan eksistensi. Oleh karenanya untuk pada masalah tarik ulur seperti ini maka muncul sumber hukum formil yang nantinya akan mengarahkan dan setidaknya cukup untuk menjawab sebenarnya apa peran mahasiswa terhadap sekitarnya walaupun jika ia bukan agent of change.

Cukup jelas tertuang dalam Bab IV Tentang Hak Mahasiswa (Tata Tertib Mahasiswa) point a, yang berbunyi, “memanfaatkan kebebasan mimbar akademik untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat, baik lisan maupun tertulis, secara etis dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”.  Secara formil peraturan yang berlaku pada wilayah UIN Sunan Kalijaga telah membuka ruang bagi segenap warga akademis untuk secara terbuka memanfaatkan yang namanya “Mimbar”. Namun tentu persyaratan pemanfaatan mimbar ini juga tetap dikawal oleh kaidah-kaidah tertentu. Yang pertama adalah bentuk penyampaian pendapat dapat bersifat lisan dan tertulis. Yang kedua etis dan bertanggung jawab, penyampaian gagasan lewat lisan dan tulisan haruslah memiliki pegangan metodologi yang kuat dan didukung analisis yang relevan. Fungsinya adalah agar pertanggungjawabannya jelas, sebagai warga akademis, akan cukup memalukan jika sampai pada point ini terlewatkan, dan ini berlaku bagi seluruhnya. Yang ketiga sesuai dengan perundangan yang berlaku artinya antara point pertama dan kedua tidak melangkahi perujukan peraturan yang lainnya, contohnya, pelaksanaan Bab IV Tentang Hak Mahasiswa point a, ini tidak bisa sampai bertentangan dengan UUD yang berlaku di Indonesia (karena dalam paradigma Ilmu Hukum, muatan yuridis yang menyatakan bahwa pelaksanaan-peraturan ‘sesuatu’ tidak bisa bertentangan dengan hukum yang nilainya lebih tinggi) atau sederhanya saja dalam kitab peraturan yang sama tidak bisa kita melangkahi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran Sedang. (isi Bab VI Pelanggaran Ringan dan Pelanggaran Sedang yang mungkin saja terjadi adalah point b : Mengundang Dan/Atau Membawa Pihak Luar Universitas Ke Dalam Kampus Untuk Berdemonstrasi, dan point c : Mengganggu Kelancaran Proses Belajar-Mengajar Dan/Atau Kegiatan Perkantoran).


Mimbar (Mahasiswa) adalah Ilmu dan Etika

Pada bagian pertama tulisan ini berisi penjelasan mengenai bagaimana sebenarnya kekuatan mahasiswa dalam menggulirkan wacana, protes, dan pendapat. Hal ini perlu untuk dipertegas untuk menghindari adanya kekeliruan dalam membawa title suci “agent of change” tapi dengan kemasan yang frontalis. Pengguliran wacana, protes dan pendapat perlu secara tegas memiliki dalih yang disepakati agar tidak terjadi kesalahan dalam standar operasi kegiatan.

Mimbar adalah ilmu dan etika, wacana, protes dan pendapat tentu agar mendapatkan respon dan terjalinnya kerja sama perlu dasar pembangunan yang realistis, tidak subjektif, serta bukan profokasi. Oleh karenanya akan sangat tidak mungkin pengguliran wacana, protes dan pendapat melalui “kenyataan abstrak”, tentulah butuh rentetan logis antara tiap-tiap premisnya. Rentetan logis dalam premis akan memperlihatkan nilai pertanggungjawabannya dan akan menghindarkan kita seperti memancing di air yang keruh, sehingga berharap dapat tapi sejatinya hanya menunggu jatuhnya keajaiban.

Ilmu berarti pengetahuan terhadap sesuatu yang telah tersistematiskan, berarti memang pada dasarnya ilmu perlu penjelasan-penjelasan yang ‘utuh’. Sederhananya dalam menggulirkan wacana, protes dan pendapat, penggunaan ilmu sebagai perangkat analisis akan mempermudah kita dalam menyusun perencanaan dimulai dari unsur-unsur stakeholder, yang mana harus jelas, siapa yang dituju, unsur-unsur apa saja yang berkaitan dengan pengguliran wacana, protes dan pendapat tersebut.

Hal yang sesungguhnya kita hindari adalah propaganda didalam pengguliran wacana, protes dan pendapat. Sebagai mahasiswa kita tentu sangat tidak ingin berbagai unsur terlarang masuk pada kegiatan ‘pemanfaatan mimbar’. Mungkin akan menjadi semacam aib jika seandainya mahasiswa ternyata tidak menyadari bentuk propaganda dibalik pesan-pesan profokatif. Maka peran Ilmu sebagai perangkat analisis akan sangat membantu agar kita tidak ditunggangi kepentingan politik. Dengan perangkat analisis yang jelas tentu akan menambah nilai tambah tersendiri.

Namun tidak berhenti disitu saja, muncul juga skeptisisme dalam penggunaan perangkat analisis ini, apakah akan ada relevansinya?, bagaimana menunjang perangkat analisis agar mampu dijadikan senjata tapi tanpa melukai pihak lain?. Jawabannya adalah etika. Permainan kata-kata atau retorika sebagai produk dari perangkat analisis tentunya tidak pula seratus persen bisa kita pegang. Sebaik-baiknya kritis adalah menentukan duduk persoalan kemudian melihatnya dengan perspektif luas dengan horizon yang tinggi. Setidaknya itulah yang menjadi pegangan pribadi penulis. pemandangan yang sama akan memunculkan interpretasi yang bisa jadi 360 derajat berbeda. Jadi memang atmosfir yang terjadi relativif pada bagian ini tidak akan memunculkan waham-waham baru.

Karenanya memang perangkat analisis memerlukan etika. Etika akan mencoba membendung terbentuknya waham-waham baru. Meskipun pada tataran idealnya pengguliran wacana, protes dan pendapat adalah bertujuan untuk mengubah tapi juga tidak boleh didasarkan pada arogansi keilmuan sehingga tidaklah kita menjadi pembaharu yang bijak dan arif tapi malah sesat. Ilmu adalah ibarat senjata dan etika sebagai nurani pertimbangan. Sebagus apapun perangkatnya jika hanya melukai sesama tanpa ada lintas kearifan lokal didalamnya sama saja kita dengan takabur dan ‘pemanfaatan mimbar’ hanya akan menjadi retorika kosong dengan misi semu dan cenderung insidental.

Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas maka langkah selanjutnya adalah mulai untuk membuka lebar-lebar pendengaran dan penglihatan dan bersikaplah kritis!.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib

Rabu, 14 Desember 2011

Matakuliah Enterpreneur adakan Pesta Rakyat Konseling

(MIDI, BKI Online, 14/12/2011), puluhan mahasiswa jurusan bimbingan konseling islam (BKI) mengadakan "Pesta Rakyat Konseling", yang juga merupakan bagian dari aplikasi matakuliah enterpreneur. belasan stand penjualan makanan, minuman, aksesoris, pakaian dll meramaikan pesta rakyat konseling. pada acara yang hanya berlangsung sehari ini(14/12/2011), mahasiswa BKI terlihat sangat antusias menjajakan jualannya.

Nailul Falah, M.Si, selaku ketua jurusan BKI memberikan komentar, "konseling itukan berarti pengembangan potensi diri, acara atau kegiatan seperti ini secara positif dapat membantu mahasiswa konseling dalam mengembangkan potensinya masing-masing".

dosen sekaligus penggagas acara, Muhsin Kalida, MA, mengatakan bahwa yang namanya kegiatan enterpreneur(pasar rakyat konseling) tidak dibatasi latar belakang pendidikan, keilmuan, jadi mahasiswa konseling pun harus bisa melakukannya. lagipula kegiatan enterpreneur seperti ini bisa membantu para calon konselor mendapatkan skill marketing, ketekunan, mental, dan "tekan" (berusaha semaksimal mungkin)".

"kalau bisa acara seperti ini bisa ada kelanjutannya pak", selah seorang mahasiswa yang menjajakan jualannya.

Minggu, 11 Desember 2011

Guru, Siswa dan Pendidikan Karakter

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Suatu ketika didalam bus angkutan umum, beberapa siswa SMA duduk berjejeran, bersama dengan penumpang lainnya. Hingga berhentilah bus tersebut disalah satu shelter pemberhentian, dan masuk nenek renta kedalam bus, dengan sedikit tertatih-tatih beliau masuk kedalam bus berusaha mencari tempat duduk. namun sayangnya, semua tempat duduk sudah terisi. Dengan helaan nafas kecapekan, beliau terpaksa mencoba meraih pegangan tangan diatap bus, tidak terlihat satupun dari barisan siswa SMA tersebut berdiri dan mempersilahkan beliau untuk duduk. Pandangan para siswa tersebut acuh, dan seakan tidak mau tahu. Melihat beliau kesulitan, seorang wanita kantoran cepat berespon dan merangkul si nenek tersebut dan mengarahkan beliau untuk duduk ditempat yang diduduki oleh dia sebelumnya.

Doni Kusuma. A, sebagai salah-seorang penggiat pendidikan karakter, setidaknya telah merumuskan pendidikan karakter kedalam 12 pilar utama. Salah-satu diantaranya ialah, integritas moral. Penghargaan terhadap sesama, menjunjung nilai luhur, mendahulukan penegakan kejujuran dan keadilan merupakan bagian dari integritas moral tersebut, dan merupakan tujuan pokok dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter berupaya menciptakan manusia bermoral dan berkemajuan. Gambaran kisah bus diatas merupakan suatu tantangan tersendiri bagi kita semua. Kisah bus diatas telah memberikan sebuah refleksi tersendiri bahwa selama ini pendidikan kita nyatanya hanya mengutamakan bagaimana menghasilkan manusia dengan nilai jual tinggi tapi minim moral.  

Tanpa menafikan betapa indah budi siswa Indonesia lainnya, dan guru-guru dengan dedikasi tinggi terhadap pendidikan. Harus kita akui pula ada beberapa hal mengganjal pada kasus-kasus remeh yang menampar karakter ideal siswa, terlihat betapa calon pemimpin bangsa kita tidak bisa berempati terhadap kesusahan oranglain. Manusia tidak akan dianggap sebagai manusia jikalau tingkat empatinya cenderung minim. Bagaimana mungkin jikalau kita terus membiarkan keadaan ini bertahan lama. Mungkin tidak bisa dibayangkan bagaimana kedepannya pemimpin bangsa kita ini.

Tawuran sesama pelajar juga sungguh disayangkan, kapan mencari ilmunya jika yang dipikirkan hanya fanatisme geng sekolah. Akhirnya mau tidak mau kita harus beralih pada alasan klasik, yakni guru. Dalam hal apapun guru merupakan pionir pendidikan. Segala macam refleksi guru, tingkah laku guru, metode pembelajaran guru, akan sangat menentukan kualitas dari anak didik atau siswa.

Ketika mengajarkan nilai-nilai kehidupan bersosial, bertoleransi, dan hormat-menghormati didalam kelas, tidak jarang selesai mengajar guru selalu bertanya, “ada yang kurang paham?”. Mungkin agak jarang guru yang menutup sesi ceramah dengan berkata, “nah jadi inilah perbedaan antara siswa yang sudah memahami dan belum..”. hal inilah yang menurut John Holt menjadi titik kegagalan guru. Siswa tidak boleh disalahkan atas apa yang seharusnya mereka ketahui tapi pada kenyataannya tidak mereka ketahui.

Menurut Jhon Holt siswa bukan tidak bisa bertanya, tapi mereka rata-rata belum paham mana yang sudah dikategorikan memahami materi dan mana yang belum memahami materi. Makanya jangan heran, siswa dijejali matapelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan setumpuk banyaknya, tapi begitu masuk pada dunia nyata, seakan jauh panggang diatas api.

Siswa kurang diajarkan untuk kritis, sebagai bagian dari pendidikan karakter. Jika ada siswa yang menegur guru untuk tidak merokok didalam kelas, guru biasanya tersinggung bukannya bahagia. Kemudian ada juga siswa yang berani mengajak gurunya untuk berkelahi, ini sebenarnya bagaimana?. Siswa yang berani mengajak guru berkelahi, tentu punya latar belakang mengapa bisa seperti itu. Cara terakhir mengakhiri ‘kenakalan’ siswa adalah dengan mengeluarkannya, karena dicap meresahkan warga sekolah. Ujung-ujungnya cap meresahkan warga sekolah secara tidak langsung akan jadi label kepribadian yang jika salah direnungkan akan berubah menjadi konsep diri sendiri. 

Integritas dalam pribadi siswa tidak terbentuk instan melalui bacaan ataupun ceramah guru. Mereka perlu teladan disekolah, entah itu dari satpam sekolah, pedagang sekolah dan guru. Jika tidak, maka mereka (para siswa) akan mencari sosok idola lewat artis, publik figur, rekan sejawat, dll. Beruntung jika ternyata pihak luar lingkungan sekolah formal itu bisa memberikan teladan yang baik. Tapi tentu dengan fakta-fakta yang ada, ternyata kita tidak bisa berharap banyak. Mau tidak mau guru harus tetap berusaha mengembangkan metode pengajaran yang holistik baik itu dalam sisi konten materi ataupun sejalan dengan perilaku guru. 

Tidak ada manusia yang ingin belajar dari seorang guru yang tidak menjalankan apa yang telah diucapkannya. Siswa untuk sementara waktu harus dipaksa mengidolakan para guru terkasihnya demi pencapaian tujuan dari pendidikan karakter. Guru harus siap pasang badan dan hati seikhlas-ikhlasnya untuk siswa. Guru harus memberikan contoh bahwa setiap masalah tidak selesai dengan kekerasan. Semisal jika ada siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tidak perlu untuk dijewer, bagi siswa ini bentuk “penyiksaan” yang menakutkan dan berpotensi untuk mengarahkan siswa kepada kesimpulan bahwa kita boleh menggunakan kekerasan.

Akhir kata, memang ini bagian dari upaya kita untuk menghasilkan pribadi-pribadi tangguh yang kelak akan memimpin bangsa bersama kepekaan hati dan kecakapan intelektual tinggi. Siswa, guru dan pendidikan karakter adalah realitas pendidikan Indonesia saat ini. Dewasanya dalam melihat perkembangan ataupun keadaan wajah pendidikan di Indonesia saat ini, ketiga kata ini akan jadi perhatian utama, maka ini mengisyaratkan bahwa peningkatan mutu pendidikan Indonesia harus kembali pada visi dan nilai filosofis tiga kata tersebut, yakni siswa sebagai subjek yang butuh ilmu dan nilai kesalehan, guru sebagai pembimbing moral, dan pendidikan karakter sebagai upaya pencerdasan menuju bangsa yang bermartabat. Oleh karenanya tidak ada maksud apapun untuk mengatakan bahwa pendidikan kita bobrok, selama ketiga kata ini dipadukan dalam pendidikan sebagai proses.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib

Rabu, 07 Desember 2011

Guru Bimbingan Konseling harus berpendidikan BK


BANDUNG, TRIBUN - Di setiap sekolah guru Bimbingan Konseling masih ada yang tidak berlatar belakang pendidikan Bimbingan Konseling (BK). Ke depannya guru-guru ini harus memiliki latar belakang yang sesuai agar konseling yang diberikan juga tepat.
Menurut Rektor UPI Prof Sunaryo Kartadinata, bimbingan konseling di sekolah-sekolah saat ini sudah lebih dari periode-periode sebelumnya hal ini dikarenakan pemahaman tentang konselor juga sudah lebih baik.

"Konseling tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa latar belakang yang sesuai. Ini persoalan profesi. Ke depannya semua (konselor) harus memiliki latar belakang konseling," kata Sunaryo ditemui usai acara International Conference Guidance and Counseling di Gedung Balai Pertemuan UPI Jalan Setiabudi, Rabu (7/12).

Ia mengatakan, jumlah guru konseling di Indonesia saat ini baru 60 persen yang memiliki latar belakang yang sesuai, selebihnya yakni 40 persen berlatar belakang non bimbingan konseling. (tif)




Sumber : http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/124419/guru-bimbingan-konseling-harus-berpendidikan-bk

Tenaga konselor Malaysia diatur undang-undang


Laporan Wartawan Tribun Jabar, Siti Fatimah
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Di Malaysia tenaga konseling diatur oleh Undang undang. Karenanya konselor di negeri jiran ini hampir bisa ditemukan di segala bidang mulai dari pendidikan hingga bidang finansial. Dan khusus pendidikan, semua sekolah wajib memiliki konselor.

Menurut President PERKAMA Internasional Malaysia, Tan Sri Dr Nordin Kardi, di Malaysia ada Undang Undang yang mengatur tentang tenaga konseling. Dengan adanya aturan ini memperjelas regulasi konselor di Malaysia.

"Di Malaysia konselor harus dari Sarjana dari bidang konseling karena UU meregulasi konselor. Orang yang tudak kualifikasi tidak bisa jadi konselor," kata Nordin ditemui usai acara International Conference Guidance and Counseling di Gedung Balai Pertemuan UPI Jalan Setiabudi, Rabu (7/12/2011).

Hal serupa juga ditegaskan Hasniza Amdan, Commite PERKAMA, tenaga konseling dibutuhkan di semua bidang. Di sekolah 500 murid ditangani beberapa konselor. "Kalau apa saja yang akan dilakukan oleh seorang konseling di sekolah, dia bisa menangani permalahan belajar murid dan bisa juga untuk tangani murid nakal," katanya. (*)

Misere : "Konseling Pastoral itu membimbing umat"


Tanggal 7 Desember 2011, Badan Otonom Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Mitra Ummah,  menyelenggarakan seminar dengan judul Mengintip Konseling Pastoral Dalam Pengembangan Potensi Dan Keilmuan Konseling Lintas Agama Dan Budaya”. Acara ini diselenggarakan di Teatrikal Fakultas Dakwah dengan mengundang pembicara yakni Sdr. Misere. C.D. Mawene, dan sebagai fasilitator Sdr. Faiz Aminuddin.

Beruntung kali ini kami dari Divisi Media dan Informasi (MIDI) Bem-J BKI, berkesempatan untuk mewawancarai Sdr. Misere.C.D. Mawene, terkait dengan konseling pastoral. Dengan gaya yang santai, Mahasiswa Pascasarjana UGM ini tersenyum ramah saat diwawancarai, berikut petikan wawancaranya,..

Apa sebenarnya konseling pastoral itu?
Konseling pastoral itu adalah upaya kita untuk menolong orang lain untuk mengerti, dan memahami masalah yang sedang dihadapi dan membantu dia untuk menemukan jalan keluar dari dirinya sendiri atas masalah yang sedang dihadapi

Bagaimana sebenarnya aplikasi konseling pastoral itu?
Aplikasi konseling pastoral itu ada banyak. Bisa, secara formal maupun informal. Kalau formal bisa seperti di gereja, rumah sakit, ataupun bisa dikantor sedangkan yang informal itu seperti ketika obrolan biasa, yang pasti ada kesempatan dimana terbukanya ruang untuk sharing.

Jadi intinya secara umum konseling pastoral hanya dilaksanakan di Gereja?
Ya, Secara umum konseling pastoral biasanya diadakan di gereja setiap hari minggu dalam bentuk ceramah atau khotbah sedangkan secara luasnya yang penting bisa bertemu antar pribadi ataupun kelompok, saya rasa itu termasuk konseling pastoral. Jadi memang inti dari konseling pastoral itu melayani dan membimbing umat dalam bentuk umumnya ceramah.

Kapan konseling pastoral dilaksanakan?
Rutinnya konseling pastoral diadakan setiap ibadah umat Kristen hari minggu, dan itu menjadi kegiatan rutin didalam konseling pastoral.

Siapa yang memiliki kewenangan untuk meyelenggarakan konseling pastoral?
Biasanya yang memiliki kewenangan formal menjalankan konseling pastoral ini disebut gembala, yakni individu yang telah melalui proses pentahbisan, maksudnya sudah melalui pengukuhan oleh pihak atas yang berwenang semisal majlis dalam gereja dlsb. Selain itu konselor pastoral sebelumnya juga diberikan pelatihan-pelatihan khusus terkait dengan konseling pastoral.

*Bagi rekan-rekan yang ingin lebih lanjut dalam pembahasan mengenai konseling pastoral bisa menghubungi Sdr. Misere C.D. Mawene :
Hp       : 081392851907

Selasa, 06 Desember 2011

REFLEKSI MAHASISWA AKHIR TAHUN

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah


Hari ini (6/12/2011) saya bersama beberapa rekan dari Bem-J BKI, mengadakan silaturahmi ke kediamannya Dr. Moch Nur Ikhwan. Dr. Moch Nur Ikhwan merupakan salah satu dosen di Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, yang popular dengan keilmuannya, di bidang Studi Islam dan Filsafat, beliau juga merupakan kepala salah-satu Program Studi di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Kebetulan saya sedang tidak kuliah jadi ketika ada pesan, untuk bergabung sekedar silaturahmi pun syukur bisa saya penuhi. Sekiranya saat-saat seperti ini, yang paling saya tunggu, karena jarang juga punya waktu untuk berbicara ringan dengan Pak Ikhwan (panggilan akrab Dr. Moch Nur Ikhwan). Selain karena beliau juga sangat sibuk, tentu kapan lagi bisa “nostalgia” dengan Bpk. Ikhwan.

Singkat kata dari obrolan-obrolan mengenai kondisi kesehatan, kami pun beralih pada beberapa permasalahan perkuliahan, skripsi, tradisi akademik, dan sepatah kata nasihat. Dari obrolan kami, tentu ada banyak hal-hal menarik yang tidak mungkin dapat direkam secara detail, Cuma ada beberapa ide-ide yang muncul dari pembicaraan kami dan jika memungkinkan Insya Allah akan coba saya refleksikan kembali kedalam tulisan ini, “Refleksi Mahasiswa Akhir Tahun”

Bagi Pak Ikhwan seorang mahasiswa itu jika ingin termotivasi dengan perkuliahan yang sedang dijalani adalah dengan memiliki terlebih dahulu impian/cita-cita kedepan. impian akan mengarahkan mahasiswa terhadap minat yang ingin ditekuni, hal inilah yang memungkinkan terjadinya motivasi dalam pribadi mahasiswa. Dengan melihat impian sebagai sesuatu yang harus dicapai, maka mahasiswa tentu akan memfokuskan setiap visi gerakannya berjalan berdasarkan alur impiannya.

Impian menjadi seorang peneliti handal tentu tidak cukup, meskipun harus diakui juga, memiliki impian adalah satu langkah yang harus diapresiasi. Namun manusia hanya bisa sampai pada sesuatu, dengan melewati proses dan tantangan yang berat. Sehingga ketetapan niat akan mencapai impian, memerlukan perangkat yang disebut, planning. Planning ini akan mempermudah jalan atau proses yang akan ditempuh.

Planning juga akan memberi space untuk berinovasi sekaligus berstrategi. Ruang untuk berinovasi adalah kesempatan mahasiswa untuk memasukkan aspek-aspek apa saja yang relevan dengan kemampuan dirinya sehingga terus membuka celah untuk kreatif. sedangkan ruang untuk berstrategi adalah melihat peluang “masa kini” dan peluang “masa depan” yang nantinya akan jadi penunjang kedepan

Dengan begini mahasiswa akan memiliki “paketan hidup”, yakni impian sekaligus planning. Impian dan planning bisa meningkatkan kualitas diri mahasiswa. Sebagai warga akademik, peningkatan kualitas diri  bisa menjadi jaminan atau pegangan dalam ikhtiar. Dosen ataupun pihak luar akan selalu tertarik dengan mahasiswa yang memiliki kualitas diri yakni cakap dalam keilmuan juga cakap dalam akhlaq. Cakap dalam keilmuan berarti mahasiswa mampu menjalankan fungsinya sebagai warga melek ilmu dan cakap akhlaq akan mengontrol mahasiswa dalam berdialektika. Jadi kedua jenis kualitas ini akan selalu jadi prioritas utama kriteria dalam melihat sumber daya manusia.

Impian akan membuka ruang untuk berinovasi dan berstrategi yang nantinya juga akan membuka kecakapan keilmuan dan kecakapan akhlak. Inilah yang seringkali lupa dipikirkan oleh mahasiswa. Terkadang kecakapan intelektual tidak dibarengi dengan kecakapan akhlak sehingga muncullah plagiarism, ataupun tidak memiliki kedua kecakapan tersebut. Bagi Pak Ikhwan sendiri, ketika melihat masalah akademik mahasiswa ternyata yang lebih banyak muncul adalah pragmatism.

Pragmatism mengarahkan mahasiswa pada pencapaian impian dengan pola pragmatis. Pragmatism atau pertimbangan praktis menjadi popular pada beberapa situasi yang mendukung terjadinya hal ini. Mahasiswa yang ingin kecakapan kelimuannya mudah dilirik, memperbanyak pembuatan makalah tapi, dari hasil mencuri karya mahasiswa lain. Mahasiswa yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjana, menyelesaikan tugas akhirnya dengan mencuri hasil tugas mahasiswa lain.

Hal-hal demikian perlu untuk dihindari, dan perlu juga dijadikan pelajaran untuk kedepannya. Lewat forum refleksi mahasiswa akhir tahun ini, perlu dan harus ada yang dibenahi, sebagaimana kata Rasulullah, yang menurut Prof. Amien Rais merupakan sebaik-baiknya renungan adalah “barangsiapa yang masa sekarang lebih bagus dari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung, dan bila masa sekarangnya sama dengan kemarin, maka dia termasuk orang yang merugi dan apabila masa sekarang lebih buruk daripada hari kemarin berarti dialah orang yang bangkrut”.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib

Minggu, 04 Desember 2011

PGRI: Guru Khawatir Disiplinkan Siswa Disalahartikan Kekerasan


REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Sekretaris Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah Muhdi mengakui, banyak guru yang sekarang ini khawatir memberikan pendidikan disiplin pada siswa akan disalahartikan tindak kekerasan.

"Sampai saat ini memang belum ada titik temu terkait pengaduan penganiayaan terhadap siswa. Itulah yang kadang membuat guru khawatir dan cemas memberikan pendidikan disiplin pada siswa," katanya di Semarang, Jumat (2/12).

Ia mengungkapkan hal itu usai penandatanganan kesepakatan bersama Kepolisian Daerah Jateng dengan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang tentang pembentukan forum kemitraan polisi, masyarakat, dan mahasiswa.

Karena itu, kata Muhdi yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang itu, pihaknya mengupayakan tindakan preventif melalui pengembangan model pendidikan karakter yang diharapkan bisa membina karakter siswa secara lebih baik.

"Sesuai dengan misi kami menjadikan calon guru yang profesional dan berjati diri, kami kembangkan model pendidikan karakter. Guru yang berkarakter mampu mendidik siswanya memiliki karakter baik," kata Muhdi.

Sementara itu, Kepala Kepolisian Daerah Jateng Irjen Pol Didiek Sutomo Triwidodo mengatakan, pihaknya tetap akan mencermati setiap laporan yang masuk terkait tindak penganiayaan guru terhadap siswa.

Ia mengakui, sesuai kapasitas dan tugas guru sebagai pendidik memang tidak bisa semua tindakan guru mendisiplinkan siswa dikategorikan sebagai tindak kekerasan, sebab pendisiplinan boleh asal dalam batas wajar.

Kapolda mengharapkan jajaran PGRI merumuskan kode etik tertentu terkait tindakan guru yang dapat dikategorikan dalam unsur kekerasan, seraya berharap guru lebih tenang bekerja dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Berkaitan dengan kesepakatan bersama pembentukan forum kemitraan polisi, masyarakat, dan mahasiswa bersama IKIP PGRI Semarang, ia mengatakan, pihaknya berharap program itu bisa membantu menekan angka kriminalitas.

Menurut dia, peran guru dalam memberikan pengetahuan yang benar mengenai tugas dan kerja polisi dalam mengatasi kriminalitas sangat besar, bukan dengan cara menakut-nakuti siswa terhadap polisi.

Tugas polisi, kata Kapolda, sebenarnya tidak hanya menangkap pelaku kejahatan, namun lebih dari itu harus merumuskan langkah preemptive dan preventif dalam menanggulangi tindak kejahatan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/12/02/lvkz91-pgri-guru-khawatir-disiplinkan-siswa-disalahartikan-kekerasan

Sabtu, 03 Desember 2011

BEM-J BKI adakan Forum Silaturahmi Jurusan


(MIDI, BKI Online, 2/12/2011), BEM-J BKI bersama pihak Fakultas Dakwah dan Jurusan BKI UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Forum Silaturahmi Jurusan BKI (sebelumnya disebut Forum BKI terbuka), yang menghadirkan Prof. Dr. H. M. Bahri Ghazali selaku dekan fakultas dakwah UIN Sunan Kalijaga, Drs. Abror Sodik, Drs. Suisyanto, M.Pd selaku pembantu dekan. Kemudian turut hadir pula Pihak jurusan BKI yang diwakili langsung oleh kepala Jurusan BKI, Nailul Falah, M.Si, dan beberapa dosen BKI, Dr. Nurjannah, Muhsin Kalida, MA, Nurul Hak, M.Hum, A. Said Hasan Basri, M.Si.

Forum Silaturahmi Jurusan BKI (FSJBKI), membahas beberapa persoalan internal jurusan. “Proses komunikasi antara fakultas, jurusan dan mahasiswa merupakan tradisi intelektual yang jarang ada, maka saya sangat mengapresiasi inisiatif rekan-rekan mahasiswa” ungkap Prof. Dr. H. M. Bahri Ghazali dalam kata sambutannya.

Dalam Forum Silaturahmi inipun Prof. Dr. H. M. Bahri Ghazali beserta staf pengajar memberikan dukungan dan mengharapkan bahwa Forum silaturahmi ini dapat menjadi agenda rutin kedepan sebagai bagian dari silaturahmi internal guna membangun komunikasi dua arah yang baik. “saya berharap kegiatan silaturahim kedepannya dapat menjadi agenda jurusan agar  sosialisasi kebijakan-kebijakan dapat langsung sampai kepada mahasiswa sehingga kedepannya tidak menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu akibat kurangnya komunikasi” tutur Profesor yang juga kepala dekan Fakultas Dakwah tersebut.

Komentar Yuk..